Surat Edaran Hate Speech Ancam Masyarakat Sipil
Fajlurrahman Jurdi menganggap surat edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Badrodin Haiti bisa mengancam masyarakat sipil.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribun Timur, Hasim Arfah
TRIBUNNEWS.COM, MAKASSAR - Akademisi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Fajlurrahman Jurdi menganggap surat edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Badrodin Haiti bisa mengancam masyarakat sipil.
Hal ini dia sampaikan karena kata Hate Speech (Ujaran Kebencian) dalam Surat Edaran Kapolri bernomor SE/06 /X/2015 tidak memiliki makna yang jelas, dan tidak memiliki batasan yang pasti.
Berikut penjelasan hukum Fajrulrahman Jurdi terkait surat edaran hate speech:
Surat edaran ini hanya merujuk pada ketentuan UU yang sudah ada, seperti Pasal 156 KUHP yg berbunyi..” perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan…”juga pasal 157 KUHP yang mengulang kata-kata….”perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan”.
Di dalam pasal 210 KUHP yang mengatur soal “penyerangan kehormatan seseorang” tidak ada kata “kebencian” yang dapat ditemukan, atau dengan kata lain yang masih trend saat ini adalah pencemaran nama baik sebagaimana yang diatur di dalam pasal 311 KUHP.
Kata “kebencian” ini ditemukan lagi di dalam Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ada kata-kata…” menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu…”.
Begitu juga Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, ditemukan kata-kata ..” menunjukkan kebencian ataurasa benci kepada orang lain..”
Namun kata-kata ujaran kebencian adalah reproduksi insititusi kepolisian sendiri. Mungkin niatnya baik, namun ini bisa menjadi ancaman bagi masyarakat sipil.
Peraturan yang tak terbatas makna dan definisinya hanya dapat ditemukan dalam masyarakat yang dikendalikan oleh rezim totaliter, karena hukum sepenuhnya adalah milik sang penguasa. Di negara demokrasi hal ini tidak boleh terjadi. Surat Edaran ini dapat menjadi pemantik bagi kriminalisasi kekuasaan atas perbedaan-perbedaan kecil yang timbul di dalam masyarakat.
Kapolri tidak memikirkan efek meluas yang ditimbulkan oleh surat Edaran ini. karena tafsir “Ujaran Kebencian” yang tidak memiliki batasan dapat membawa masyarakat pada dua kemungkinan:
Pertama, mereka akan takut untuk berpendapat dan mengungkap “rasa kesal” mereka pada institusi kekuasaan. Salah-salah berpendapat dapat ditengarai sebagai “Ujaran Kebencian”. Inilah cikal bakal kembalinya despotisme kekuasaan. Hukum direproduksi untuk menutup mulut mereka yang berbeda dan atau yang hendak melakukan kritik pada kekuasaan.
Kedua, masyarakat akan diperhadapkan satu sama lain. Bagi yang memiliki uang dan kekuasaan, hukum dapat mereka beli dan intervensi. Polisi dapat mereka atur dengan uang dan bisa mereka tekan dengan kekuasaan.
Maka atas nama Surat Edaran yang memiliki makna tanpa batas ini, mereka yang “merasa” Dibenci oleh ucapan dan tulisan seseorang, padahal itu merupakan kritik dan sejenisnya, dapat berhadapan dengan hukum.
Jika ini yang terjadi, hukum tidak melahirkan masyarakat beradab, malah akan makin “biadab”.