Terpidana Mati Simpan 76 Gram Sabu di Sel, Diduga Ada Kerja Sama dengan Oknum Petugas
Terkait terpidana mati Amir Aco (32) yang menyimpan sabu-sabu seberat 76 gram dalam Rutan Makassar.
Editor: Sugiyarto
Laporan Wartawan Tribun Timur, Darul Amri
TRIBUNNEWS.COM, MAKASSAR - Terkait terpidana mati Amir Aco (32) yang menyimpan sabu-sabu seberat 76 gram dalam Rutan Makassar.
Akademisi Unhas Fajlurrahman Jurdi mengatakam hal tersebut merupakan tamparan bagi Rutan dan memperkuat hipotesis lama yang mengatakan bahwa Rutan adalah sarang peredaran narkoba.
Sebagai terpidana mati yang melanggar ketentuan pasal 114 Ayat 2 dan Pasal 112 Ayat 2 UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Amir harusnya kembali kepada “Tuhan”.
"Dan atas kelakuannya ini, bisa menjadi pertimbangan untuk mempercepat eksekusi mati terhadapnya," kata Fajlurrahman kepada Tribun, Senin (9/11/2015).
Fajlurrahman menilai ada dua kemungkinan yang bisa terjadi atas kasus ini, pertama, masuknya Narkoba ke dalam Rutan murni karena kelalaian petugas Lapas karena kelincahan Amir mengelabui petugas.
Hal ini harus menjadi pelajaran agar ditingkatkan lagi manajemen lembaga dan perlu diingatkan pada setiap penjaga untuk memeriksa setiap barang dan makanan yang di antarkan kepada Narapidana.
Kedua, bisa jadi juga, disebabkan oleh adanya unsur kesengajaan yang melibatkan pihak Rutan.
Jika ini dapat dibuktikan, maka harus dihukum seberat mungkin yang bersangkutan karena bisa jadi dia menjadi bagian dari peredaran Narkoba di dalam Rutan.
"Oleh karena itu, Melihat kejadian-kejadian yang cukup mencoreng dalam sistem Rutan di Indonesia," jelasnya.
Saat penggeledahan, sabu-sabu seberat 76 gram milik Amir Aco diamankan. Barang bukti tersebut telah dikemas dalam puluhan sachet.
Bukan hanya sabu-sabu, pihak Rutan dan Polsek Rappocini juga mengamankan barang bukti berupa pipet, pirex, alat hisap (bong) dan ratusan saset kosong.
Menurut dosen Hukum ini mungkin mesti dipikirkan konsep pemenjaraan yang diperkenalkan oleh Jeremy Bentham pada tahun 1785 dan diperkuat kembali oleh Michael Foucault. Dia menyebut bangunan penjara itu dengan Panopticon.
Sedangkan Bentham, penjara itu dibangun dengan model bundar, dimana ditengah-tengahnya di bangun sebuah mercusuar.
Hal ini untuk “mendisiplinkan” narapidana agar bertindak menurut aturan yang telah ditetapkan di dalam penjara, sekaligus mereka merasa dikontrol oleh seseorang yang berjaga siang-malam di atas menara.
Hal yang sama juga diuraikan oleh Geroge Orwell mengenai cara mendisiplinkan orang melalui apa yang ia sebut sebagai Teleskrin, yakni sebuah mesin pengontrol yang mampu mendeteksi aktivitas bahkan oleh Orwell menyebutkan, bahwa alat ini mampu membaca pikiran orang.
Konsep Bentham adalah konsep penjara murni, namun konsep Orwell adalah semacam alat yang diciptakan dalam sistem totaliter.
Di dalam sistem Rutan kita, harusnya dipikirkan alat kontrol yang mampu merekam peristiwa dan kejadian di dalam kamar-kamar tahanan.
"Mungkin CCTV adalah alat yang relevan yang fungsinya sama dengan Teleskrin atau Panopticon yang disebutkan oleh Orwell dan Bentham," tambahnya. (*)