Hadapi MEA, Pemerintah Harus Lindungi Orang Bukan Produknya
Pemerintah diminta jeli menghadapi MEA agar masyarakat dan pelaku usaha, khususnya di Bali, tidak kelimpungan melawan produk asing.
Penulis: I Made Ardhiangga
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Made Ardhiangga
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA yang berlaku pada 2016 menjadi peluang sekaligus tantangan yang mau tak mau akan dihadapi Indonesia.
Pemerintah diminta jeli menghadapi MEA agar masyarakat Indonesia, pelaku usaha, khususnya di Bali tidak kelimpungan.
Anggota Komisi II DPRD Propinsi Bali, AA Adi Ardhana, menyatakan fair trade atau perdagangan berkeadilan bisa menjadi salah satu kunci menjaga tradisi lokal.
Sehingga, pemerintah seharusnya melindungi masyarakat bukan malah melindungi produknya, sebab persaingan barang itu muncul dari orang-orangnya, bukan dari barang ke orang.
"Memang benar, bukan produk barang yang dilindungi, tapi orang pintar yang dilindungi. Sehingga, orang-orang pintar di Indonesia akan terakomodasi. Dengan bantuan pemerintah, mereka akan menciptakan barang-barang yang lebih hebat dari buatan asing," kata Adi Ardhana pada Sabtu (9/1/2016).
Perlu diketahui masyarakat Bali hidup lewat pariwisata budayanya dan itu hidup karena orangnya.
Orang manapun bisa berbudaya Bali, tapi mereka tidak berbanjar di Bali dan mengerti hukum adat (awig-awig) yang berlangsung di Bali.
"Namun demikian, godaan-godaan uang sekarang banyak. Dan Bali unggul di pariwisata dan pertaniannya. Terlebih ialah pariwisata, karena devisanya langsung berdampak ke masyarakat. Karena itu, bagaimana seharusnya yang ada saat ini dijaga oleh masyarakat Bali, bukan menambah sesuatu yang akan merusak masyarakat Bali," tegas dia.
Hal senada diungkapkan, perwakilan Aliansi Buruh Bali, Ihsan Tantowi, yang menyatakan apa yang terjadi saat ini untuk menghadapi MEA selalu menyoal harga.
Produk Indonesia diketahui lebih mahal ketimbang produk asing yang masuk ke Indonesia, misalnya, dibandingkan dengan produk-produk sal Tiongkok.
Ia mencontohkan puplen yang diimpor dari Tiongkok menuju ke Indonesia plus biaya pengiriman dan pajak lalu dijual Rp 875, tapi anehnya pulpen keluaran pabrikan Indonesia mencapai Rp 1000.
"Nah ini kan menjadi persoalan. Bagaimana persoalan ini bisa terjadi. Maka dari itu, ini yang harus betul-betul dipahami oleh Pemerintah," jelas Ihsan.
Bali merupakan tempat potensial yang akan dijajaki orang-orang asing untuk bekerja, selama tidak ada regulasi yang benar maka masyarakat Bali akan tergerus dan termarjinalkan.
"Kalau memang demikian, harus ada solusi dan strategi untuk masyarakat menghadapi ini. Bukan membiarkan begitu saja untuk bertarung," sambung dia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.