Perkebunan Teh Gambung, Jejak Cinta Tersisa RE Kerkhoven
Napak tilas jejak Rudolph Eduard Kerkhoven, perintis dan pembangun perkebunan teh Gambung dipandu buku Sang Juragan Teh sungguh fantastis.
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Machmud Mubarok
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Desir angin seolah berhenti, begitu langkah kaki tiba di sebuah kompleks pemakaman kecil. Pohon-pohon Rasamala (Altingia excelsa) yang jangkung dan rimbun seolah menjadi penjaga, teman dan pelindung yang mengitari tiga makam di bawahnya.
Pohon sebesar sepelukan orang dewasa itu meniupkan kesunyian, nun jauh di kebun teh Gambung, Cisondari, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Di situlah Rudolph Eduard Kerkhoven, perintis dan pembangun perkebunan teh Gambung beristirahat untuk selamanya, menempati makam paling bawah, di tengah adalah makam istrinya, Jenny Elisabeth Henriette Roosegaarde Bisschop atau Jenny Kerkhoven.
Sementara makam paling atas, belum bisa dipastikan milik siapa. Ada yang bilang makam guru pribadi keluarga Kerkhoven, ada pula yang menyebut anak Kerkhoven yang tak sempat menikmati dunia karena Jenny keguguran.
Rudolph Eduard Kerkhoven dan istrinya, Jenny Elisabeth Henriette Roosegaarde Bisschop atau Jenny Kerkhoven.
RE Kerkhoven adalah bagian keluarga besar Kerkhoven, Bosscha, Holle, sebuah dinasti para juragan perkebunan di Priangan (Preanger Planters).
Ayahnya, RA Kerkhoven, membangun perkebunan teh di Arjasari; Pamannya, Eduard Julius Kerkhoven, pemilik perkebunan di Sinagar, Sukabumi; KAR Bosscha yang datang belakangan, masih terhitung saudaranya, sukses menjadi administratur perkebunan Malabar.
Tak ketinggalan, Karel Frederick Holle, pemilik perkebunan teh Waspada, Garut, masih terikat hubungan keluarga. Perkebunan Panumbangan, Negla, dan Talun juga milik keluarga Kerkhoven.
Mereka semua terhubung oleh sang pendahulu yang pertama kali datang ke Hindia Belanda, Guillermo Jacques van der Hutch atau Willem van der Hutch, untuk membabat alas dan menjadikannya perkebunan kopi atau teh.
Ada peluh, keluh, perjuangan, konflik, dan cinta, sepanjang Kerkhoven mengembangkan perkebunan teh di kaki Gunung Tilu ini. Ia mempertaruhkan segalanya demi cintanya kepada Gambung, kepada tanah Priangan, dan kepada sang istri, Jenny.
Cinta tulus Kerkhoven rupanya tak mampu menaklukkan hasrat terpendam Jenny, yang terbiasa hidup sebagai sosialita Batavia. Terlempar ke dunia sunyi pedalaman Gambung yang tak ubahnya dunia antah berantah.
Ia berupaya mengimbangi kerja keras, semangat, dan kebahagiaan Kerkhoven menggauli tanah dan teh Gambung. Tapi tetap saja, di dasar hatinya Jenny ingin lepas dari kebahagiaan semu itu.
Kehadiran anak-anak yang lucu, Rudolf A Kerkhoven, Eduard Silvester Kerkhoven, Emilius Hubertus Kerkhoven, Karel Felix Kerkhoven, dan Bertha Elisabeth Kerkhoven, tidak juga meredakan kegundahan Jenny pada Batavia yang hingar bingar.
Hingga akhirnya Jenny didera penyakit syaraf dan depresi. Ia merayakan kematiannya cukup tragis: bunuh diri minum racun.
Kisah itulah yang tertuang dalam roman Heeren van de Thee karya Hella S Haasse yang diterjemahkan menjadi Sang Juragan Teh terbitan Gramedia Pustaka Utama.
Buku itu pula yang memandu puluhan orang untuk turut serta menjelajah ke Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung, peninggalan RE Kerkhoven pada Minggu (17/1/2016) lalu. Acara itu diinisiasi oleh Gamboeng Vooruit & Co, kolaborasi Balad Junghuhn dan Tjimahi Heritage.
Penjelajahan dan diskusi buku menjadi santapan utama para peserta. Dipandu Maman Sulaeman, staf di Divisi Agrowisata PPTK Gambung, peserta begitu antusias berkeliling kebun teh sambil mendengarkan penjelasan seluk-beluk teh serta menziarahi makam RE Kerkhoven, Jenny, dan makam tak bernama.
"Dulu saya melihat Belanda itu penjajah semata. Tapi setelah saya membuka kembali sejarah Gambung, lalu mendengar cerita-cerita dari para sepuh, pandangan saya terbuka, bahwa tidak semua Belanda itu penjajah, karena ada juga yang baiknya, seperti Kerkhoven ini," kata Maman.
Menurut Maman, perkebunan teh ini merupakan harta karun tak ternilai yang ditinggalkan Kerkhoven. Ia membawa rombongan ke sebuah bak penampungan air yang dibangun oleh Kerkhoven untuk disalurkan ke rumah-rumah warga sekitar Gambung.
"Sayangnya tak ada lagi peninggalan Kerkhoven yang utuh dan bisa kita saksikan, selain perkebunan teh ini. Rumahnya sudah tidak ada, diganti jadi gedung PPTK ini," kenang Maman.
Tak hanya Maman yang bercerita soal Kerkhoven dan perkebunan teh Gambung, sejumlah pembicara lain juga turut menyampaikan pandangannya pada sesi diskusi.
Mochamad Sopian Ansori bercerita tentang sejarah perkebunan di Jawa Barat, lalu Andrenaline Kataris mengulas dari sisi sastra kolonial. Tak ketinggalan Meggy P Soedjatmiko, editor buku Sang Juragan Teh pun, pun urun bicara.
Meggy berujar, kisah Kerkhoven adalah sejarah yang dinovelisasi oleh Hella Haasse.
"Data-datanya primer, berdasar dokumen dan surat-surat keluarga Kerkhoven. Diberi sentuhan fiksi oleh Hella. Saya menggarap buku ini selama delapan bulan. Makanya senang bisa sampai di Gambung," aku Meggy.
Begitu pula para peserta merasakan keseruan berada di Gambung, bisa menjelajah dipandu sebuah buku, lalu mendiskusikannya di tempat keluarga RE Kerkhoven sebagai saudagar teh dari Priangan. Tentu saja mendiskusikannya di sini sangat bermakna dibanding di tempat lain.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.