Menyambut Imlek hingga Ceng Beng di Rumah Tjong A Fie
Tjong A Fie, orang yang sangat berjasa membangun Kota Medan yang dulu bernama Deli Tua.
Editor: Gusti Sawabi
Setiap hari, rumah perantau yang sukses berbisnis perkebunan, pabrik sawit, gula serta perkereta-apian ini ramai dikunjungi orang. Kebanyakan wisatawan lokal, tapi asal Jakarta.
"Yang lucunya gini, ini kan bulan Imlek, bulan dua, malah pengunjung agak sepi. Paling cuma 10 sampai 20 orang. Setiap tahun begitu," ungkap dia.
"Kenapa ya, kurang tau juga kenapa, mungkin karena jumlah harinya cuma 28 hari makanya pengunjungnya juga berkurang," kata laki-laki berkacamata itu sambil tersenyum.
Biasanya, setiap hari 20 sampai 30 orang datang, kalau Sabtu - Minggu bisa mencapai 100-an pengunjung atau sekitar 60 sampai 80 orang.
Setiap orang dikenakan biaya masuk Rp 35.000 untuk 45 menit, kalau untuk mahasiswa dan anak-anak, ada harga diskon.
Begitulah cerita perayaan Imlek di keluarga Tjong A Fie, orang yang sangat berjasa membangun Kota Medan yang dulu bernama Deli Tua.
Beberapa sumbangan peninggalannya adalah menara lonceng gedung Balai Kota Medan yang lama, pembangunan Istana Maimoon, Gereja Uskup Agung Sugiopranoto, Kuil Buddha di Brayan, kuil Hindu untuk warga India, dan Batavia Bank.
Lalu ada Deli Bank, Jembatan Kebajikan di Jalan Zainul Arifin Medan, dan rumah sakit Tionghoa pertama di Medan bernama Tjie On Jie Jan.
Tokoh yang dikenal dermawan dan dekat dengan warga pribumi ini juga menjadi pelopor industri perkebunan dan transportasi kereta api pertama di Sumatera Utara, yakni Deli Spoorweg Maatschappij (DSM).
Kereta itu yang menghubungkan Kota Medan dengan pelabuhan Belawan.
Almarhum semasa hidupnya sangat menghormati warga muslim, bahkan berperan serta mendirikan Masjid Raya Al-Mashum dan Masjid Gang Bengkok. Namanya pernah akan dijadikan sebagai nama jalan di Kota Medan, namun batal dan berganti menjadi Jalan KH Ahmad Dahlan.
(Kontributor Medan, Mei Leandha)