Uniknya Pasar Papringan, Hanya Buka 35 Hari Sekali Setiap Minggu Wage
Pasar Papringan di Kabupaten Temanggung tercipta atas kreativitas Singgih Susilo Kartono (48), alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB).
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, TEMANGGUNG - Pasar Papringan di Kabupaten Temanggung tercipta atas kreativitas Singgih Susilo Kartono (48), alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Desain Produk.
"Saya dulu kuliah di Bandung dan sempat kerja di sana. Saya merasakan crowded hidup di kota dan pada saat bersamaan saya melihat potensi-potensi desa mulai hilang. Akhirnya saya memutuskan kembali ke desa," kata pria asal Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung itu, Minggu (20/3/2016).
Singgih mengakui tidak mudah mewujudkan pasar yang sudah digagasnya sejak 10 tahun silam.
Kegelisahan muncul ketika Singgih yang aktif bersepeda kala pagi berkeliling desa. Ia sedih melihat desanya yang miskin dan warganya yang produktif banyak mengadu nasib ke kota.
Singgih beranggapan langkah warga itu kurang tepat. Menurutnya, desa mestinya menjadi pusat kegiatan ekonomi bagi warganya.
Pembangunan desa harus dilakukan tidak berperspektif kota yang hanya menekankan pada fisik bangunan semata.
Singgih lalu membuat sebuah tempat yang dijadikan lokasi workshop atau tempat latihan sebelum membuat Pasar Papringan.
Lantaran rumahnya yang terlampau sempit, Singgih sempat menyewa ruang tamu milik tetangganya untuk dijadikan tempat workshop.
Singgih Susilo Kartono, pendiri Pasar Papringan
Di situ Singgih melatih warga, terutama pemuda kampung setempat, untuk membuat beragam kerajinan dari bahan bambu.
"Kenapa bambu? Sebab di dusun ini banyak sekali kebun bambu. Saat itu saya berpikir kenapa tidak memanfaatkan bambu saja, yang merupakan bagian dari potensi desa ini," ujar Singgih.
Tempat workshop itu pada awalnya menciptakan barang-barang dari kayu dan bambu.
Satu di antaranya radio kayu bermerek Magno, furniture dengan desain tradisional inovatif, dan beberapa produk lain. Sampai akhirnya ia membuat sepeda dari bahan bambu pada 2013.
"Sepeda bambu sudah dibuat di Eropa sejak tahun 1800-an, padahal di sana tidak ada bambu. Saya berpikir mengapa di sini yang kaya bambu tidak bisa membuat sesuatu," kata dia.
Sepeda bambu yang diberi merek Spedagi (dari kata sepeda pagi) itu kemudian terkenal.
Warga luar daerah, baik pakar lingkungan, penyuka sepeda, dan mahasiswa mulai berdatangan ke tempat tinggal Singgih di Dusun Kelingan RT 02 RW 04 Desa Caruban, Kandangan.
Ia mulai diundang ke berbagai negara untuk memperkenalkan konsep revitalisasi desa dan menggelar International Conference on Village Revitalization (ICVR).
"Konferensinya di Papringan. Para tamu menginap di homestay dari bambu yang saya buat," ungkapnya.
Namun semuanya itu, menurut Singgih, belum menjawab kegelisahannya tentang pembangunan desa berdasarkan potensi lingkungan. Dari sharing ide dengan teman-temannya, lahirlah Pasar Papringan.
Lantaran tak punya lahan, Singgih harus menyewa kawasan Papringan di Caruban dari warga. Lahan seluas 1.000 meter persegi itu kemudian dibersihkan, dibuat jalan dari susunan batu, hingga nampak seperti taman yang indah.
Suasana Pasar Papringan
Selanjutnya Singgih mencari pedagang pengisi pasar. Ia menemui warga dari rumah ke rumah, menawari mereka untuk berjualan.
Akhirnya terciptalah Pasar Papringan yang terletak di Desa Caruban, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung.
Sejak dibuka kali pertama pada 11 Januari 2016, pasar yang bisa ditempuh sekitar satu jam dari pusat Kota Temanggung itu sudah tiga kali digelar.
Kawasan yang semula kotor dan dihindari itu kini malah mendatangkan kesejahteraan bagi warga desa.
Pasar Papringan buka 35 hari sekali pada setiap Minggu wage.
Masyarakat Jawa menyebutnya sebagai selapanan.
"Seratus persen pedagangnya warga Caruban. Mereka menjual aneka makanan khas desa dan hasil kerajinan dari bambu," tandas Singgih. (a prianggoro)