Masyitah dan Anaknya Tinggal di Gubuk Tanpa MCK
Rumah itu juga tidak memiliki kamar mandi.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, MEULABOH - Hari itu Masyitah (32) duduk termenung di lantai rumahnya di Desa Lueng Tengku Yah, Kecamatan Woyla Induk, pedalaman Kabupaten Aceh Barat.
Pandangannya kosong, menatap pohon-pohon pinang di luar rumah melalui celah-celah besar pada dinding kayu yang sudah reyot.
Dari celah-celah itu, cahaya matahari masuk dan menerangi rumahnya di siang hari. Ada lubang besar di salah satu bagian dinding di bawah atap daun rumbia.
Lubang itu dibiarkan menganga tanpa penutup. Celah-celah kecil ditutup dengan kertas koran seadanya. Angin dan air hujan seringkali masuk ke dalam gubuk berukuran 4x4 meter itu.
"Sudah lama kondisi rumah saya seperti ini. Kalau hujan tergenang air di dalam dan belum sanggup saya perbaiki karena tak punya biaya," kata Masyitah kepada wartawan yang menemuinya belum lama ini.
Jangankan memperbaiki rumah, untuk keperluan sehari-hari pun kadang ia kesulitan memenuhinya. Listrik di rumahnya sudah lima bulan tak dibayar.
"Biasanya saya bayar tiga bulan sekali Rp 70.000-Rp. 100.000," ujarnya.
Rumah itu juga tidak memiliki kamar mandi. Selama ini Masyitah menumpang mandi dan memenuhi kebutuhan air sehari-hari dari rumah tetangganya.
"Tidak ada MCK, selama ini menumpang di rumah tetangga. Kalau ada hujan, saya tampung air hujan untuk kebutuhan sehari-hari," kata dia.
Masyitah tinggal bersama putrinya semata wayang, Juwita (9). Suami Masyitah pergi entah ke mana dan tak pernah menemuinya lagi.
Juwita tidak pernah ingat seperti apa wajah ayahnya karena sang bapak tak pernah muncul sejak usianya masih 1 tahun.
Sehari-hari Masyitah bekerja sebagai kuli penderes sawit. Saat musim panen padi, ia ikut bekerja sebagai kuli di sawah milik warga.
Masyitah juga mengandalkan pendapatan dari hasil sejumlah pohon pinang di pekarangan sekitar gubuknya.
Penghasilannya tak menentu. Alih-alih memperbaiki rumah, untuk makan sehari-hari pun uangnya pas-pasan.
Sering kali ia tidak memberikan uang bekal kepada anaknya yang duduk di kelas IV sekolah dasar.
"Anak saya sering tidak sekolah karena tidak ada uang jajan karena untuk ke sekolah harus berjalan kaki sekitar satu kilometer lebih dari rumah. Kalau tidak pergi ke sekolah, anak bantu-bantu saya bekerja mengutip dan kupas pinang di rumah," kata Masyitah.
Meski hidup dalam kondisi serba terbatas, Masyitah tetap berupaya untuk menyekolahkan anaknya seperti anak-anak lain seusianya kampung. Tujuannya satu, memenuhi cita-cita Juwita menjadi guru.
"Anak saya cita-cita ingin menjadi guru, tapi belum tahu apakah nanti saya mampu untuk membiayai sekolahkannya hingga kuliah," jawab Juwita dengan penuh keraguan.
Entah sampai kapan kondisi itu ia jalani bersama buah hatinya.(Kontributor Kompas TV, Raja Umar)