Kisah Mantan Penari Jaipong dan Guru Silat yang Sebatang Kara Tinggal di Rumah Reot
Untuk aktivitas mandi, cuci,kakus di rumah itu pun tidak layak, semua menjadi satu dengan kamar tidur, dapur dan ruang tamu.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perjalanan hidup manusia misterius, seperti roda pedati terkadang berada di atas, terkadang di bawah terus berputar.
Saat ini bisa saja jaya, mungkin ke depan kita akan merasa lara.
Seperti yang dialami Ibu Pat, ia kini hidup sebatang kara suami dan anak tercintanya lebih dulu menghadap ilahi meninggalkannya.
Usia Ibu Pat pun tidak muda lagi sudah sangat lanjut, 90 tahun, namun tidak seperti kaum jompo pada umumnya, ia masih terlihat bugar dan segar, bahkan kerap terlihat jalan kaki kesana kemari dengan badan tegap.
Wajar saja, Ibu Pat dulu kala adalah seorang penari jaipong ternama dan aktif di kegiatan pencak silat di kampungnya, Siliwangi, Bandung, Jawa Barat.
Namun kini sehari-harinya ia hidup beratapkan rumah reot, sempit beralaskan tanah yang saat hujan turun air masuk dari atap ke dalam rumahnya.
Untuk aktivitas mandi, cuci,kakus di rumah itu pun tidak layak, semua menjadi satu dengan kamar tidur, dapur dan ruang tamu.
Sementara bagian belakang rumah sudah ditutup permanen dan langsung bertemu tembok pembatas sebuah perumahan warga.
Jauh sebelum tinggal seperti sekarang ini Ibu Pat sebenarnya mendiami sebuah gedung Posyandu sekitar daerah Bojongsari, Sawangan, namun karena warga iba melihatnya kemudian karang taruna setempat berinisiatif membangunkan rumah seadanya untuk Ibu Pat.
Ibu Pat pun pindah. Ia tinggal seorang diri di daerah Bojongsari, Sawangan, Depok.
Ia hanya ditemani kucing-kucing tercintanya.
Untuk makan, Ibu Pat mengandalkan tetangga dan warga sekitar.
Hampir tiap hari ada saja bantuan dari warga ataupun kelurahan yang datang ke rumah Ibu Pat, seperti beras untuk rakyat miskin (raskin) ataupun sekedar uang dari warga.
Pernah suatu ketika Ibu Pat menerima uang dari warga. Maksud mereka memberi Ibu Pat untuk membantu makan sehari-hari.
Akan tetapi, Ibu Pat justru membelanjakan uangnya itu ikan tongkol untuk kucing-kucing peliharaannya, ia pun rela tidak makan.
Ibu Pat memang gemar merawat kucing, hewan mamalia yang singgah ke rumahnya itu kerap diberi makan, entah sekedar nasi kering, atau kalau ada rejeki lebih diberikan ikan tongkol.
"Pernah punya uang Rp 50 ribu buat belanja ikan tongkol terus dikasih kucingnya,"kata seorang warga bernama Taufik saat berbincang dengan Tribun, Senin(1/5/2016).
Ketika berbicara dengan salah seorang warga bernama Mafi yang bertandang ke rumahnya, Ibu Pat terlihat bingung, ia mengernyitkan dahinya mencoba mengenal siapa yang ada di hadapannya.
Penglihatannya sudah tidak sesempurna dulu kala.
"Remang-remang neng, enggak lihat," kata Ibu Pat ketika berbincang dengan Mafi, warga sekitar.
Saat berbicara dengan Ibu Pat pun tone nada suara harus ditinggikan, pendengarannya sudah terganggu.
"Kalau bicara sama Ibu Pat harus kencang suaranya, " kata Mafi.
Ibu Pat sempat berjualan gado-gado sekedar untuk mencari sesuap nasi, akan tetapi usahanya itu kini berhenti total. Ia bingung harus bagaimana lagi.
Warga sekitar yang iba melihat Ibu Pat memang kerap bertandang bertemu di rumahnya berharap ada dermawan atau pemerintah yang mau mengurusi hidup Ibu Pat yang kini jauh sebatang kara dan jauh dari layak.
"Semoga ada yang mau ngurus Ibu Pat, dibawa ke panti jompo atau bagaimana deh,"ujar Mafi.
Ibu Pat sendiri tidak muluk muluk berharap. Ia mengaku sudah betah di rumahnya saat ini meski harus rela kehujanan, kotor dan tidak layak huni.
Warga pernah berinisiatif memindahkan Ibu Pat ke masjid tapi ia tidak mau.
"Saya disini saja, betah," ujarnya.
"Saya sudah enggak ada yang ngurus takut ngerepotin orang," tambah Ibu Pat.
Entah sampai kapan Ibu Pat berdiam diri di rumah itu, yang jelas saat ini dia sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di kawasan Bojongsari, Sawangan, Depok.
Hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain hingga sekarang meski tidak layak.
Semoga saja ada orang atau pihak yang peduli dengan nasib Ibu Pat. Semoga.