Pekerja Asing Digaji Rp 15 Juta, Tenaga Lokal Hanya Rp 3 Jutaan, Padahal Posisinya Sama
Nanang menambahkan gaji tenaga kerja asing jauh lebih tinggi dibanding tenaga lokal padahal posisinya sama.
Editor: Wahid Nurdin
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Masuknya tenaga kerja asing dari Tiongkok dan beberapa negara lainnya, menjadi ancaman bagi tenaga kerja lokal.
Hal tersebut disampaikan Ketua Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Jawa Tengah, Nanang Setyono, mewakili rekan-rekan pekerja di Jawa Tengah.
Nanang mengaku tahu banyak perusahaan di Jateng yang memekerjakan tenaga kerja asing. Khususnya pada industri garmen dan tekstil.
Menurutnya perekrutan dan penempatan tenaga kerja asing itu diduga melanggar aturan.
"Diantaranya, ada tenaga kerja China yang secara diam-diam bekerja sebagai maintenance yang sebenarnya itu bisa dikerjakan oleh tenaga lokal. Kenyataannya mereka justru belajar dari tenaga kerja lokal," katanya pada Tribun Jateng, pekan lalu.
Tenaga kerja asal Tiongkok itu oleh perusahaan disebut sebagai supervisor. Dalam peraturan, tenaga kerja asing dilarang menempati bagian yang bukan untuk tenaga ahli.
Namun menurutnya, aturan itu dilarang karena lemahnya pengawasan.
"Hal itu juga karena mental aparat yang lemah. Mereka ikut bermain ketika menemukan pelanggaran oleh orang asing di sini," ujarnya.
Nanang menambahkan gaji tenaga kerja asing jauh lebih tinggi dibanding tenaga lokal padahal posisinya sama.
Ia menyebutkan, gaji tenaga maintenance asing antara Rp 15 juta sampai Rp 20 juta. Gaji supervisor sekitar Rp 20 juta, gaji manajer antara Rp 30 juta sampai Rp 40 juta.
Sedangkan gaji general manajer (GM) sampai direksi asing, antara Rp 50 juta sampai Rp 60 juta.
"Meski menempati posisi sama, tenaga asing dibayar lebih mahal. Makanya cost produksi juga tinggi. Kalau tenaga lokal, maintenance itu gajinya sesuai UMK (upah minimum kabupaten). Kalau supervisor di industri garmen hanya Rp 3 jutaan, dan di tekstil antara Rp 4 juta sampai Rp 5 juta," jelasnya.
Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Semarang, Himron sebelumnya mengakui kesulitan melakukan pengawasan terhadap pekerja asing karena keterbatasan personel.
"Karena minimnya petugas itu, kami sampai bayar informan. Karena memang ada anggarannya bagi siapapun yang bisa memberikan informasi valid jika ada pelanggaran yang dilakukan warga asing," ujarnya.
Kepala Subseksi Komunikasi Keimigrasian Semarang, Jumiyo, menambahkan sejak Januari 2016 sampai Juni 2016, sudah ada empat tenaga kerja asing dideportasi dari Jateng ke negaranya karena berbagai pelanggaran.
"Pada Januari dua orang. Februari satu orang dan Maret juga satu orang," kata Jumiyo. (tribunjateng/cetak)