Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Cerita Nenek Murip, Pemulung yang Merindu Naik Haji

Sudah lama cita-cita Murip dapat mengenakan pakaian ihram, menjadi tamu Allah untuk menunaikan ibadah haji. Doa dan ikhtiarnya bakal terwujud.

Editor: Y Gustaman
zoom-in Cerita Nenek Murip, Pemulung yang Merindu Naik Haji
Surya/Hanif Manshuri
Nenek Murip di rumahnya Desa Bulubrangsi, Lamongan. Saat ditemui wartawan Surya, Murip masih mengumpulkan barang–barang rongsokan yang dikaisnya, Kamis (28/7/2016). 

Laporan Wartawan Surya, Hanif Manshuri

SURYA.CO.ID, LAMONGAN - Sudah lama cita-cita Murip mengenakan pakaian ihram, menjadi tamu Allah untuk menunaikan ibadah haji. Meski hidupnya miskin, nenek berusia 61 tahun itu pantang mengendurkan niatnya yang sudah ia pupuk sejak lama.

Aku kepingin haji, nek mati dosaku cik disepuro karo gusti Allah (aku mau naik haji, kelak mati dosaku Allah maafkan),” Murip menceritakan keinginannya saat ditemui wartawan Surya, Hanif Manshuri, di rumahnya, Kamis (28/7/2106).

Seperti kebanyakan tetangga desanya di Bulubrangsi, Solokuro, mulai berkecukupan sekian tahun usai memburu ringgit ke Malaysia. Begitulah Marip melanglang ke negeri jiran, mencari pengharapan sebagai modal untuk menunaikan rukun Islam kelima.

Bersama para lelaki asal desanya, sekira 2005 ia berangkat ke Malaysia. Nasib mereka sama: warga miskin. Urusan paspor Murip percayakan kepada tetangganya yang sama–sama mengadu untung ke Malaysia.

Tanpa modal pendidikan dan kemampuan, mau apa Murip di Malaysia apalagi usia sudah menua? Sederhana saja, memulung dan menjadi tukang pijat selama di kampung halamannya di Lamongan, begitulah yang Murip andalkan di Malaysia.

Berbilang hari, bulan dan tahun, Murip selalu berusaha sesuai kebiasaannya secara tekun. Idamannya melihat Kakbah menjadi penguat Murip mencari botol bekas dan barang apapun yang bisa didaur ulang dan dijual, asalkan halal.

BERITA TERKAIT

Di atas semua ikhtiar itu, tak pernah Murip menanggalkan salat sunah, apalagi yang wajib. Ia tak peduli orang memandangnya hina. Selagi badan dan tenaganya masih bisa untuk berkerja, apapun ia lakukan siang malam.

“Aku di Malaysia ya tetap jadi pemulung. Aku tidak bisa kerja apa selain itu. Aku juga menjadi tukang pijat kepada siapa pun yang memintanya bantuan,” cerita Murip.

Praktis ketika buruh migran asal Indonesia, apalagi tak berdokumen, selalu dipandang miris oleh Polis Diraja Malaysia, tak demikian Murip. Keluguan dan kejujuran Murip membuatnya selalu mendapat perlakuan baik.

“Katanya pak kiai, uang untuk berangkat haji itu harus benar–benar halal. Jadi saya juga tidak mau sampai meminta–minta,” kata Murip.

Bukan persoalan mudah memulung barang yang dapat dijual lalu menghasilkan uang. Kadang dua hari sekali Murip baru mendapatkan barang rongsokan. Satu kali ia mendapat mendapat sampai satu pikap. Setelah terkumpul, barang itu diangkut ke pengepul.

”Alhamdulilah, saya tidak perlu menyewa angkutan. Karena ada orang Cina di Malaysia yang selalu memberikan pinjaman mobilnya dan sopirnya untuk mengangkut barang saya secara gratis,” kata dia.

Semua yang diperbuatnya Murip percaya berkat sikap jujur dan juga selalu ingat kepada Allah dan menjalankan semua perintahnya. Di setiap salat, dan di sepertiga malam, selalu Murip mendaraskan doa agar bisa menunaikan haji sebelum berkalang tanah.

Halaman
123
Sumber: Surya
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas