Menteri Susi Dapat Gelar Kehormatan Warga Adat Pulau Enggano
Enam suku yang mendiami Pulau Enggano di Provinsi Bengkulu memberikan gelar kehormatan warga adat kepada Menteri Kelautan dan Perikanan RI.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, BENGKULU - Enam suku yang mendiami Pulau Enggano di Provinsi Bengkulu memberikan gelar kehormatan warga adat kepada Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Susi Pudjiastuti.
Gelar kehormatan itu tetap diberikan secara simbol meski Menteri Susi tak hadir dalam acara pengukuhan seusai pelaksanaan upacara HUT Ke-71 RI di Pulau Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu.
Pemberian gelar kehormatan untuk menteri kelautan Susi Pudjiastuti diwakili oleh Dirjen PRL KKP, Bramantya Satya Murti P.
"Pemberian gelar ini merupakan bentuk penghormatan masyarakat adat Enggano terhadap menteri yang dianggap dapat membela kepentingan masyarakat adat dan nelayan," kata koordinator kepala suku (Paabuki), Harun.
Selain menteri kelautan, gelar warga kehormatan adat juga diberikan pada Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti dan Bupati Bengkulu Utara Mian.
Pemberian gelar diiringi dengan pagelaran kolosal tari perang yang mengisahkan pertempuran antarsuku yang berujung pada perdamaian.
Selain mendapatkan gelar adat, para pejabat tersebut mendapatkan mahkota adat, parang, dan Kamiyu, terompet yang terbuat dari kerang laut.
Dirjen PRL KKP, Bramantya Satya Murti P dalam sambutannya berjanji akan memperhatikan pembangunan Pulau Enggano, terutama dalam bidang pariwisata dan perikanan. Selanjutnya pemberian gelar kehormatan adat akan ia sampaikan kepada Menteri Susi.
"Potensi perikanan Enggano mencapai 114.000 ton per tahun, namun baru 5.800 ton per tahun dimanfaatkan. Enggano akan dibangun sebagai sentra kelautan terpadu," kata Bramantya.
Rafly Kaitora, tetua suku adat Kaitora, salah satu suku di Enggano, mengharapkan menteri Susi Pudjiastuti dapat memperhatikan keberadaan masyarakat adat di pulau terluar Bengkulu itu. Ia berharap pembangunan dapat bersinergi dengan lembaga adat.
"Selama ini lembaga adat hanya dianggap simbol namun tidak memiliki kekuatan dalam menentukan nasib wilayah adatnya. Padahal beberapa UU termasuk UU Nomor 27 tahun 2007 tentang pesisir dan pulau terluar tegas menyebutkan masyarakat adat wajib dilibatkan secara aktif dalam pembangunan wilayah adatnya," kata Rafly Kaitora. (Kompas.com/Firmansyah)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.