'Janji Kampanye Jokowi-JK Melalui Revolusi Mental dan Nawa Cita Tinggal Kenangan'
Dua tahun duet Joko Widodo - Jusuf Kalla memimpin negeri ini, janji-janji kampanye mereka melalui Revolusi Mental dan Nawa Cita tinggal kenangan.
Penulis: Tito Ramadhani
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Tito Ramadhani
TRIBUNNEWS.COM, PONTIANAK - Hujan gerimis tak menyurutkan sebanyak 30 aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Kalbar menggelar aksi damai bertajuk Evaluasi Dua Tahun Pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla, di Bundaran Digulis Untan, Jalan Jend A Yani, Pontianak, Kamis (20/10/2016) sekitar pukul 17.15 WIB.
Dalam aksinya, sejumlah aktivis tampak mengenakan topeng anonymous dan ada pula yang mengenakan caping sambil meneriakkan sejumlah tuntutan.
Aksi ini juga diwarnai dengan adanya teatrikal yang mengisahkan tertindasnya kaum petani oleh penguasa dan pejabat pemerintah.
Korlap Aksi, Abdul Salim mengungkapkan, telah dua tahun duet Joko Widodo - Jusuf Kalla memimpin negeri ini.
Janji-janji kampanye mereka melalui Revolusi Mental dan Nawa Cita tinggal kenangan. Sementara harapan rakyat yang menginginkan perubahan dan perbaikan menuju Indonesia adil, makmur, dan berdaulat kini hanya menjadi isapan jempol belaka.
"Kondisi negara hari ini sangat mengkhawatirkan, dimana negara tidak mampu hadir di tengah penderitaan yang dihadapi rakyatnya. Kepemimpinan yang sangat lemah dan hanya berorientasi kepada kepentingan pemilik modal. Rezim Jokowi hanya disibukkan dengan pencitraan belaka," ungkapnya disela-sela aksi, Kamis (20/10/2016) sore.
Di sektor ekonomi makro, penerimaan negara melalui pajak tidak sesuai target, walaupun sudah ada program Tax Amnesty.
Disamping itu, utang Indonesia meningkat drastis, yakni sebesar 6,4 persen dengan posisi terakhir Rp 3.501 triliun atau 27,7 persen dari PDB.
"Bahkan untuk menyicil utang saja, Indonesia harus menggunakan dana utangan dari luar negeri. APBN 2016 dikoreksi beberapa kali untuk penyesuaian, begitu juga dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut menandakan bahwa negara dikelola oleh orang yang salah dan tidak profesional," jelasnya.
Kedaulatan pangan dan energi merupakan sesuatu yang didambakan dari dulu sejak Indonesia merdeka.
Produksi dan distribusi komoditas utama masih dikuasai oleh para pemilik modal besar, yang tidak mempedulikan kepentingan nasional.
Harga komoditas unggulan terus turun, sedangkan harga bibit dan pupuk melambung tinggi. Sehingga membuat usaha rakyat semakin sulit untuk berkembang.
Sejumlah aktivis KAMMI Kalbar mengenakan topeng Anonymous sambil memegang rapor merah Evaluasi Dua Tahun Pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla, dalam aksi damai di Bundaran Digulis Untan, Jalan Jend A Yani, Pontianak, Kamis (20/10/2016) sekitar pukul 17.15 WIB. TRIBUN PONTIANAK/TITO RAMADHANI
"Peran negara nihil dalam memproteksi usaha rakyat di berbagai sektor. Pada akhirnya, kita terus-menerus bergantung pada produk-produk impor," terangnya.
Kemudian di sektor hukum dan pemberantasan korupsi, komitmen pemerintah dalam menjalankan Undang-undang terbukti masih sangat rendah.
Intervensi kekuasaan dalam proses penegakan hukum masih marak terjadi. Hal ini bisa dilihat dari menjamurnya kongkalikong antara pejabat korup, politisi busuk, dan pengusaha hitam dalam penegakan hukum.
"Sehingga penuntasan kasus-kasus korupsi besar masih jalan di tempat, seperti kasus Suap Reklamasi, Sumber Waras, Century, dan BLBI," papar Abdul.
Selanjutnya di sektor sosial, terbukti peran negara dalam pengentasan kemiskinan dan pengangguran masih jauh dari harapan.
Padahal, kemiskinan dan pengangguran inilah yang membuat masyarakat menjadi gelap mata, sehingga kerap terjadi perilaku menyimpang, tindakan kriminal, kerusuhan, dan disintegrasi.
"Begitu juga dengan kasus perlindungan perempuan dan anak, dari kekerasan dan human trafficking (perdagangan manusia) yang luput dari perhatian rezim berkuasa," sambungnya.