Mahaguru Dimas Kanjeng Buta Huruf, Tugasnya Duduk dan Putar-putar Tasbih
Mujang sendiri mengaku tidak terlalu kenal Dimas Kanjeng. Dia mengaku hanya tahu setelah diberi pekerjaan dan imbalan
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA-- Berjubah hitam dan membawa tasbih, Mujang (51) dan enam orang sesama 'mahaguru' di Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi berbaris di depan gedung Ditreskrimum Polda Jawa Timur, Senin (7/11/2016).
Bapak empat anak itu mengaku tidak tahu-menahu alasan dia dibawa ke Mapolda Jatim.
Mujang dan enam 'mahaguru' lainnya dibawa ke Mapolda Jatim untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan penipuan oleh Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Mujang dkk diduga berperan sebagai mahaguru palsu Dimas Kanjeng.
Mujang sendiri mengaku tidak terlalu kenal Dimas Kanjeng. Dia mengaku hanya tahu setelah diberi pekerjaan dan imbalan atas pekerjaan tersebut.
"Gimana saya tahu, orang membaca saja saya tidak bisa," kata warga Kepa Duri, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, ini.
Pria yang berprofesi sebagai kuli bangunan itu juga tidak mengerti arti julukan yang diberikan kepadanya, yakni Abah Nogososro. Dia mengaku, panggilan itu diberikan kepadanya beberapa waktu lalu di padepokan.
Ketujuh orang ini diberi nama julukan khusus dengan nama depan Abah. Sadeli, misalnya, dijuluki sebagai "Abah Entong" oleh Dimas Kanjeng. Ganti nama supaya lebih 'sakti' atau berwibawa dalam merekrut pengikut.
Marno Sumarno diganti namanya menjadi Abah Holil. Lalu, Abdul Karim diberi nama Abah Sulaiman Agung, Atjep sebagai Abah Kalijogo, Biea Sutarno sebagai Abah Sukarno, dan Ratim sebagai Abah Abdul Rohman.
Mereka ini diminta berperan bak seorang ulama. Mereka diberi pakaian serbaputih, sorban, jubah, dan yang paling penting berjenggot.
Mujang mengaku baru tiga kali mengikuti acara di padepokan di Probolinggo. Di sana, dia hanya diperintah untuk duduk sebentar di panggung utama acara bersama mahaguru lainnya yang sama-sama berasal dari Jakarta.
"Tugas saya cuma duduk dan memutar tasbih, setelah itu ya sudah," ungkapnya.
Setelah bertugas, Mujang mengaku diberi amplop oleh orang dari pihak padepokan. Amplop itu berisi uang Rp 2 juta. Isi amplop yang diterimanya juga pernah hanya Rp 1,5 juta.
Saat diperlukan menghadiri acara di padepokan, Mujang dan enam rekannya sesama mahaguru bayaran difasilitasi kendaraan untuk pulang dan pergi.
"Tidak setiap ada acara dipanggil, tergantung dibutuhkan atau tidak," ujarnya.
Tujuh orang 'mahaguru' itu adalah warga biasa yang bermukim DKI Jakarta. Mereka berprofesi antara lain sebagai pengemis, buruh, bahkan cuma pengangguran.
Mereka dibayar untuk berakting menjadi mahaguru Dimas Kanjeng. Ketujuh orang tersebut telah dijemput tim Ditreskrimum Polda Jatim dari Jakarta, Minggu (6/11).
"Harusnya ada sembilan mahaguru, tapi satu di antaranya sudah meninggal dan satu lagi kabur," ujar Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono, Senin (7/11).
"Mereka tinggal di rumah-rumah petak kecil di Jakarta," ungkap Kombes Raden. (Kompas.com)