Warga Kampung Adat Jalawastu Pantang Gunakan Semen, Porselen, Keramik, Batu Bata dan Genting
Meskipun terletak di Kabupaten Brebes, namun mayoritas warga Jalawastu berkomunikasi menggunakan Bahasa Sunda.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, BREBES - Warga Kampung Adat Jalawastu, Desa Ciseureuh, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes disebut-sebut merupakan suku Badui-nya Jateng.
Pemangku Adat Jalawastu, Dastam, menyebut ada persamamaan antara Jalawastu dan Badui. Keduanya diyakini memiliki leluhur sama yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan.
"Ceritanya di Jalawastu, dulu sebelum Islam masuk, ada satu keyakinan yang merupakan ajaran Sunda Wiwitan, jadi Hindu bukan, Budha juga bukan," kata Dastam, Rabu (14/12/2016).
Meskipun terletak di Kabupaten Brebes, namun mayoritas warga Jalawastu berkomunikasi menggunakan Bahasa Sunda.
Hanya sebagian kecil yang mengerti dan dapat berbicara menggunakan Bahasa Indonesia.
Secara geografis, Jalawastu terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat sehingga bahasa yang digunakan mayoritas warga menggunakan Bahasa Sunda.
Untuk menuju ke dusun ini, harus menempuh jarak ke selatan sekitar tiga jam dari pusat pemerintahan Kabupaten Brebes.
Kampung Jalawastu merupakan daerah terpencil dan terletak di kaki Gunung Kumbang.
Di gunung tersebut lah asal muasal angin kumbang yang disebut sangat membantu para petani bawang merah di Brebes.
Untuk menuju kampung ini, harus melewati jalan bebatuan yang menanjak dan menurun karena daerah pegunungan. Selain jalan bebatuan, jalan juga becek karena belum tertutup aspal.
Jalan yang sempit hanya sekitar 2 meter dan di kanan kiri jurang serta tebing tinggi menuntut pengguna jalan waspada. Apalagi, saat musim hujan yang rawan longsor.
Sesampai di kampung ini, papan nama Kampung Adat Jalawastu menyambut tamu dari luar. Pemandangan nan hijau dengan udara segar sangat terasa di kampung tersebut.
Rumah di kampung tersebut memang berbeda dengan daerah lain. Tidak ada yang menggunakan atap genting, tembok batu bata dan semen, serta keramik.
Semua rumah rata-rata menggunakan atap seng dan ilalang. Untuk dinding, rumah mereka menggunakan kayu. Lantai keramik juga tidak dijumpai di rumah-rumah warga.
Saat Tribun Jateng (Tribunnews.com Network) menyambangi kamar mandi satu rumah warga, kloset tidak terbuat dari porselen yang biasa dipasang di dalam kamar mandi.
Kloset terbuat dari kayu yang dibentuk serupa dengan kloset porselen.
"Porselen, keramik, semen, batu bata, genting, memang merupakan pantangan bagi warga Jalawastu. Kalau besi masih boleh," jelas pria yang sering menggunakan pakaian dan ikat kepala serba putih itu.
Menurutnya, warga Jalawastu yang saat ini mayoritas beragama Islam masih memegang teguh peninggalan adat leluhur. Jadi, masih kental adat istiadat leluhur yang berkeyakinan Sunda Wiwitan.
"Kalau ditanya ada pantangan tidak boleh membangun rumah dengan semen dan sebagainya, itu karena ajaran leluhur pun seperti itu. Pokoknya, pamali," ucap Dastam.
Ia pun bercerita asal muasal tradisi leluhurnya. Zaman dulu itu pembuat genting tinggal jauh dari rumah warga dan belum ada kendaraan.
Untuk membawa genting harus dipikul dan berjalan puluhan hingga ratusan kilometer.
Oleh karena itu, karena dulu banyak tanaman alang-alang, jadi untuk atap rumah memakai tanaman tersebut.
Menurutnya, tanaman alang-alang membikin nyaman lantaran saat musim panas, rumah tidak terasa panas, dan saat musim dingin bisa membuat rumah jadi hangat.
Kemudian, saat ini, warga ada yang sudah memakai seng.
"Hanya saja, seng berisik kalau musim hujan," imbuhnya.
Selain itu, sumber penerangan masih menggunakan kincir air. Bahkan, masih ada yang menggunakan penerangan dengan kaleng atau botol bekas yang berisi minyak. (mamdukh adi priyanto)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.