Cerita Pilu Korban Penggusuran di Kampung Bugis Serangan
Setelah rumahnya tergusur, Harfiah bersama anak-anaknya terpaksa melewati malam hanya beratapkan tenda dari terpal.
Editor: Wahid Nurdin

TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Tepat pukul 22.30 Wita, Selasa (3/1/2016), Harfiah masih termenung di pinggir-pinggir rumah yang habis tergusur di Kampung Bugis, Serangan, Denpasar, Bali.
Ia duduk memangku anaknya di sela-sela barang yang masih bisa ia selamatkan.
Sesekali mata perempuan berusia 34 tahun yang menjadi korban penggusuran itu terpejam.
Harfiah adalah satu di antara 400-an jiwa yang kehilangan rumahnya dilakukan eksekusi oleh panitera Pengadilan Negeri (PN) Denpasar pada Selasa kemarin sejak pukul 09.00 Wita hingga 15.00 Wita.
Enam alat berat dikerahkan untuk meratakan 40 rumah milik 36 kepala keluarga (KK).
Setelah rumahnya tergusur, Harfiah bersama anak-anaknya terpaksa melewati malam hanya beratapkan tenda dari terpal.
"Bu, pengen maem...(bu, ingin makan)," ucap seorang anak Harfiah yang masih bocah sembari sesekali menangis dan menarik-narik baju ibunya.
Melihat anaknya yang bergelinang air mata dan terus meminta makan, Harfiah berdiri mengambil panci yang masih bisa ia selamatkan dan meminjam kompor warga lainnya.
Ia letakkan kompor itu di areal jalan, dan menuangkan air kemudian memasaknya bersama rekan-rekannya.
"Anak saya belum makan dari tadi. Kita semua belum makan. Kanggoin buat mie saja dulu," kata ibu dua anak ini kepada Tribun Bali.
Pasca eksekusi lahan yang digelar siang kemarin, suasana Kampung Bugis, Serangan memang sangat memprihatinkan.
Tumpukan barang-barang yang masih bisa diselamatkan terlihat di pinggir-pinggir jalan: ada yang menitipkan di rumah warga yang lain, ada yang menaruh barang mereka di tempat pengungsian sementara.
Di emperan warung dan rumah warga Kampung Bugis yang tidak terkena eksekusi, tampak sejumlah bocah tertidur lelap seperti sangat kelelahan.
Betapa tidak, masjid yang tersedia sudah penuh sehingga banyak warga yang tidak mendapatkan tempat tidur.