Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pesan Shinta Nuriyah Soal Kondisi Kekinian: Jangan Terprovokasi, Harus Tabayun

Sinta Nuriyah Wahid berpesan setiap orang jangan bersikap frontal menyikapi keadaan dan harus mendahulukan tabayun.

Editor: Y Gustaman
zoom-in Pesan Shinta Nuriyah Soal Kondisi Kekinian: Jangan Terprovokasi, Harus Tabayun
Surya/Sutono
Suasana perayaan Imlek 2017 dihadiri beragam agama dan etnis di kediaman mantan Ibu Negara Sinta Nuriyah Wahid di Jalan Juanda, Jombang, Jawa Timur, Minggu (5/2/2017). SURYA/SUTONO 

Laporan Wartawan Surya, Sutono

SURYA.CO.ID, JOMBANG - Sinta Nuriyah Wahid mengungkapkan warisan pluralisme suaminya, Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, mendapat tantangan luar biasa.

Kepentingan politik saat ini begitu menonjolkan kebencian dari beragam medium di antaranya di media sosial, jauh dari cita-cita luhur pendiri bangsa.

Demikian disampaikan Shinta saat perayaan Tahun Baru Imlek 2568 di rumahnya, Jalan Juanda Jombang, Minggu (5/2/2017). Puluhan warga beragam agama dan etnis menghadiri acara sederhana itu.

Pernyataan Shinta menanggapi sambutan perwakilan Tionghoa Jombang, Willy Sugianto.

Dalam sambutannya mewakili masyarakat Tionghoa Jombang, Willy Sugianto mengingatkan kembali peran Gus Dur dalam dinamika etnis Tionghoa Indonesia.

"Pada era Presiden Abdurrahman Wahid berbagai regulasi diskriminatif dicabut. Belenggunya dibuka. Tionghoa berutang banyak kepada Gus Dur," terang pria yang berprofesi sebagai dosen ini.

BERITA REKOMENDASI

Tapi, pada Imlek tahun ini dilaksanakan dalam suasana Indonesia yang penuh dengan intrik politik yang berpotensi memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa.

Menyimak kondisi seperti itu, Sinta mewanti-wanti setiap orang bisa menahan emosi dan tidak terprovokasi. "Jangan sampai kita bersikap frontal. Harus ‘tabayyun’ dulu," pesan Sinta.

Dikatakan dia, setiap perbedaan perlu dihormati dan jangan sampai membuat bangsa semakin terpecah belah. Sebelum meninggal Gus Dur mewanti-wanti agar persatuan dan kesatuan bangsa didahulukan.

Suster Margaretha dari Katolik Jombang menyampaikan besarnya jasa Gus Dur bagi demokrasi Indonesia. Kelompok yang selama ini tertindas mendapat pembelaan Gus Dur.

"Saya punya banyak teman dengan pengalaman buruk selama Orde Baru, maupun Peristiwa 65," kata suster senior ini. Dia berharap peristiwa kelam masa lalu tidak lagi terjadi.


Acara ‘imlekan’ kali ini terasa spesial karena dihadiri tidak hanya oleh kalangan Tionghoa namun juga etnis lain dari beragam latar belakang agama dan keyakinan.

"Kami ingin publik mengetahui pentingnya menjaga keragaman di Indonesia. Karena bagaimana pun, sejarah peradaban Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kontribusi etnis Tionghoa," terang Aan Anshori, penggagas acara yang juga aktivis Jaringan Gusdurian ini.

Acara diawali bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya dan diakhiri doa bersama enam agama, dan ditutup dengan menyanyikan lagu Satu Nusa Satu Bangsa dan Bagimu Negeri.

Sumber: Surya
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas