Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ammuntuli Bulang, Tradisi Warga Panampu Menyambut Ramadan

Menyambut Ramadan, warga RW 6, Kelurahan Pannampu, Kecamatan Tallo, Makassar, menggelar Ammuntuli Bulang pada Minggu (21/5/2017).

Penulis: Fahrizal Syam
Editor: Y Gustaman
zoom-in Ammuntuli Bulang, Tradisi Warga Panampu Menyambut Ramadan
Tribun Timur/Fahrizal Syam
Menyambut Ramadan, warga RW 6, Kelurahan Pannampu, Kecamatan Tallo, Makassar, menggelar Ammuntuli Bulang pada Minggu (21/5/2017). TRIBUN TIMUR/FAHRIZAL SYAM 

Laporan Wartawan Tribun Timur, Fahrizal Syam

TRIBUNNEWS.COM, MAKASSAR - Menyambut Ramadan, warga RW 6, Kelurahan Pannampu, Kecamatan Tallo, Makassar, menggelar Ammuntuli Bulang pada Minggu (21/5/2017).

Ammuntuli Bulang atau menyambut bulan adalah tradisi masyarakat saat akan memasuki Ramadan berupa makan songkolo bersama dan juga barasanji.

Panitia Ammuntuli Bulang, Agussalim, mengatakan tradisi tersebut telah berlangsung sejak ratusan tahun silam oleh warga, khususnya di Kecamatan Tallo.

"Kita ingin bangkitkan kembali tradisi yang mulai hilang itu, apalagi di antara seluruh kecamatan di Makassar, hanya di Kecamatan Tallo yang masih melaksanakan ini," kata Agussalim.

Tradisi Ammuntuli Bulang yang dilakulan masyarakat Tallo sejak 1605 mulai luntur pada dekade 90-an. Kemajuan zaman membuat tradisi ini nyaris mengilang apalagi anak muda lebih tertarik gadget

Dalam tradisi Ammuntuli Bulang, salah satu acaranya yaitu makan songkolo lima warna bersama-sama masyarakat. Songkolo lima warna tersebut yakni hijau, putih, kuning, merah, dan hitam bermakna sesuai dengan rukun Islam.

Berita Rekomendasi

"Kenapa ada songkolo, karena zaman dahulu itu masyarakat yang menganut animisme menggunakan sesaji agar mendapat berkah. Nah Datuk Ribandang saat itu mencoba mengubah tradisi masyarakat tapi tidak menghilangkannya. Sesaji itu diubah dengan songkolo lima warna yang melambanhkan Islam," terang dia.

Tak hanya songkolo, masyarakat dahulu juga menyembah pohon dengan cara bernyanyi atau melantunkan puji-pujian di pohon tersebut.

"Kepercayaan masyarakat dulu itu mereka meraung-raung di pohon. Kemudian itu diubah juga dengan puji-pujian ke Rasulullah berupa zikir dan Salawat, serta pembacaan kitab Lagaligo di zaman dulu juga diganti dengan Barasanji," beber Agussalim.

Ia melanjutkan, dalam tradisi ini selain menyajikan berbagai macam makanan, juga dilanjutkan dengan tradisi lain yakni Assuro Baca, ziarah kubur, pembersihan lorong, dan pesta juku.

"Tradisi ziarah kubur masyarakat kita juga mulai hilang. Dulu budaya masyarakat itu H-5 jelang Ramadan paling lambat sudah ziarah kubur, sekarang nanti baru H-1 baru ramai-ramai datang," tutur dia.

"Inti dari itu semua, kita ingin mengembalikan budaya Islam yang dibawa oleh para Wali di zaman dahulu," Agussalim menambahkan.

Sumber: Tribun Timur
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas