Jalan Jenderal Soeharto Kupang yang Menyimpan Banyak Kisah
Dulu Jalan Soeharto itu namanya Motorpol yang dimulai dari Komdak (sekarang Polda NTT) hingga ke pertigaan Oepol (sekarang Oepura)
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, KUPANG -- Tahukah Anda berapa umur Jalan Jenderal Soeharto yang membentang dari Oepura hingga Naikoten Kupang?
Tahun 2017 ini usianya sudah lebih dari setengah abad.
Jalan protokol itu diberi nama Soeharto sejak tahun 1966.
Soeharto merupakan jalan protokol di ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini.
Posisinya sangat strategis, sambung-menyambung dengan jalan lain yang mengusung nama para tokoh nasional yaitu Jalan Jenderal Soedirman (Naikoten- Kuanino), Jalan Mohammad Hatta (Kuanino-Fontein) dan Jalan Soekarno (Fontein hingga kota lama Kupang).
Mantan Wakil Gubernur NTT, Esthon L Foenay, M.Si mengatakan, dulu Jalan Soeharto itu namanya Motorpol yang dimulai dari Komdak (sekarang Polda NTT) hingga ke pertigaan Oepol (sekarang Oepura).
"Kenapa dinamakan motorpol karena di depan Komdak itu adalah tempat pemeriksaan semua kendaraan bermotor," kata Esthon, Rabu (7/6/2017).
Menurut Esthon, pemberian nama jalan Soeharto di Kupang itu dilakukan setelah Soeharto menjabat Presiden ke-2 RI dan Kabupaten Kupang saat itu dijabat Bupati Anton Hadi.
"Kalau tidak salah, Jalan Soehato itu ditetapkan saat pemerintahan Bupati Kupang Pak Anton Hadi sekitar tahun 1966," kata Esthon.
Tanah lokasi jalan Jenderal Soeharto itu, demikian Esthon, sebagian besar adalah milik tanah orangtuanya, Eben Cornelius Foenay.
"Saya tidak ingat persis berapa banyak tanah yang papa berikan kepada masyarakat dan pemerintah untuk kepentingan umum. Tapi saya tahu papa saya memang sering memberikan tanah keluarga bagi masyarakat dan pemerintah sejak tahun 1930-an," kata Esthon.
Eben Foenay juga memberikan tanah kepada pemerintah dalam rangka persiapan berdirinya provinsi daerah tingkat satu NTT tanggal 20 Desember 1958.
"Kalau dulu papa saya kasih tanah miliknya kepada masyarakat dan pemerintah untuk kepentingan umum itu lebih banyak tidak ada transaksi uang, hanya balas jasa atau pemberian tempat sirih. Terkecuali untuk pembangunan kantor-kantor maka ada bayarannya tapi nilainya juga kecil," kata Esthon.
Seingat Esthon, tanah orangtuanya di Jalan Soeharto yang diberikan kepada pemerintah untuk kepentingan umum mulai dari Kantor Asuransi Bumi Putera, mesjid, Gereja Paulus (dulu Gereja Pola), Sekolah Rakyat (SR) dan kampus Universitas Nusa Cendana Kupang dan terus sampai ke pertigaan Oepura.
Esthon bangga karena di atas tanah orangtuanya yang diserahkan kepada pemerintah dibangun jalan Soeharto. "
Menurut saya pantas nama Jenderal Soeharto dijadikan nama jalan dan nama jalan itu harus dipertahankan," katanya.
Pemilik Toko Aladin di Jalan Soeharto Kupang, Sutanto Rante memberi kesaksikan yang sama bahwa tanah untuk jalan itu diserahkan keluarga Foenay.
"Tanah untuk dijadikan Jalan Jenderal Soeharto ini milik Bapak Eben Foenay, beliau adalah raja. Dia kasih kepada pemerintah sekitar 30 meter di sisi kiri dan 30 meter di kanan. Di tanah itu ada pohon-pohon besar sebesar pelukan tangan tiga orang dewasa. Ada sekitar 30-40 pohon di sini yang dipotong untuk pelebaran jalan Soeharto saat itu," kata Sutanto.
Sutanto sudah ada di Kupang bersama orangtuanya sejak tahun 1952.
Mereka datang dari Sulawesi dan memulai usaha kecil-kecilan di tempat yang sama dari dulu sampai saat ini.
"Dulu datang ke Kupang umur saya enam tahun. Kala itu kami sudah tinggal di tempat ini dengan orangtua. Toko ini belum ada, mama saya penjahit. Kondisi jalan di depan masih kecil, lebarnya hanya dua meter setengah, dan berbatu-batu. Kalau ada dua mobil lewat, maka satu mobil di pinggir berhenti dulu baru satu bisa jalan," tutur Sutanto di tokonya, Selasa (6/6/2017).
Terkait ruas Jalan Soeharto, demikian Esthon Foenay, saat ini terasa sempit karena makin banya jumlah pengguna kendaraan bermotor.
Untuk memperluas ruas jalan itu tidak mudah mengingat sudah ada rumah penduduk, tempat usaha bahkan banyak bangunan bersejarah sehingga sayang jika harus dibongkar untuk perluasan jalan.
"Saya ingat zaman kepala Dinas PU NTT Pak Sitepu, ada wacana agar jalan Soeharto buat satu jalur saja. Mungkin wacana ini perlu didiskusikan kembali agar tidak terjadi kemacetan di ruas Jalan Jenderal Soeharto," kata Esthon Foenay.
Foenay berharap ada perbaikan papan nama jalan itu sehingga terlihat dan mudah dibaca masyarakat.
Tidak hanya papan nama Jalan Soeharto, namun juga papan nama jalan lainnya di Kota Kupang.
"Mungkin kita harus ubah beberapa nama jalan sehingga bisa disesuaikan dengan kondisi zaman. Inventarisir kembali ruas-ruas jalan yang ada juga inventarisi nama-nama tokoh nasional dan tokoh lokal yang bisa dijadikan nama jalan. Tidak harus di jalan besar, di jalan kecil dan lorong pun bisa menggunakan nama orang yang pernah berjasa untuk daerah. Tentunya harus ada pembahasan dan penetapan perda," kata Esthon.
Sementara itu, Dinas Perhubungan Provinsi NTT dan Dinas Pariwisata NTT tidak menyimpan data tentang sejarah penamaan Jalan Jenderal Soeharto.
Kepala Dinas Perhubungan NTT, Drs Richard Djami, yang ditemui di Gedung DPRD NTT, Kamis (8/6/2017), mengaku tidak mengetahui kapan nama Jalan Soeharto itu ada.
"Mohon maaf, karena kami tidak tahu menyangkut nama jalan itu," kata Richard.
Ia juga mengatakan, nama jalan itu sudah ada sejak dulu sehingga dirinya pun tidak mengetahui siapa yang memberi nama jalan itu.
Kepala Dinas Pariwisata NTT, Dr Marius Jelama yang dikonfirmasi sebelumnya mengatakan yang sama. Mantan Ketua DPRD NTT, Drs Mell Adoe mengatakan, Jalan Soeharto ada sejak ia masih kecil.
"Ketika saya masih kecil jalan itu sudah ada. Kami waktu itu sudah dengar nama Jalan Jenderal Soeharto," ujarnya. (vel/yel)