Komarudin Watubun: Tradisi Pukul Sapu Lidi Mamala harus ‘Go Internasional
Rangkain Hari Raya Idul Fitri seakan tak ada habisnya. Di beberapa daerah di Indonesia, hari ke-7 Idul Fitri dirayakan dengan berbagai tradisi.
Editor: Toni Bramantoro
Dari sisi bahasa, negeri Mamala merupakan salah satu negeri di jazirah Leihitu Pulau Ambon. Konon, negeri Mamala dalam bahasa daerah disebut dengan kata “Ama-Latu” yaitu “Ama’ artinya Negeri, dan “Latu” artinya Raja sehingga “Ama-Latu” artinya Negeri Raja.
Menurut kisah yang beredar, ketika orang-orang Portugis bertemu dengan penduduk Mamala mereka bertanya asal usulnya.
Masyarakat Mamala pun menjawab sambil menunjuk ke arah gunung dengan menyebut kata “Mala-mala”, yang maksudnya letak negeri mereka ke arah gunung yang berwarna kebiru-biruan, yang oleh orang Portugis di sebut “Mamala”.
Walaupun tradisi ini bagian dari rangkaian Idul Fitri, namun yang merayakan tradisi ini tidak hanya dari kalangan umat Muslim, warga beragama lainnya juga banyak yang turut serta.
“Ini menujukkan kekuatan eratnya kekerabatan (pela) orang-orang Maluku yang harus terus kita pegang," tegas Bung Komar yang juga menjadi bakal calon Gubernur Maluku.
Tradisi ini dimulai ketika Latu Liu, pimpinan pemerintahan adat Negeri Mamala, Patti Tiang Bessy/Patti Tembessi (Tukang Besar yang memimpin pembangunan mesjid), dan Imam Tuny (Imam Masjid) bermufakat mendirikan masjid di sekitar abad ke-16.
Perlengkapan pembangunan mesjid pun dikumpulkan dengan mengerahkan rakyat untuk menebang kayu di lereng-lereng gunung dan perbukitan disekitar Mamala.
Kayu-kayu itu diangkut atau dipikul bersama-sama ke lokasi masjid. Dalam perjalanan, salah satu di antara kayu tersebut jatuh dari pikulan dan patah. Kayu yang patah ini panjangnya 20 meter. Padahal, kayu yang dibutuhkan harus berukuran panjang dan dalam keadaan utuh atau tidak boleh disambung.
Hal itulah yang membuat ketiga pemimpin di atas dan masyarakat negeri Mamala mencari solusi yang tepat untuk menyambungkan kayu. Imam Tuny mendapatkan ilham yaitu menyambungkannya dengan mengoleskan minyak yang telah didoakan sebelumnya.
Keesokan harinya ilham yang diperoleh Imam Tuny segera dilaporkan kepada Latu Liu dan Patti Tiang Besy. Ketiga pemimpin tersebut bermufakat untuk mempraktekkannya dan ternyata memberikan hasil yang sangat menggembirakan yakni balok kayu yang patah itu kembali tersambung.
Berdasarkan hal tersebut, ketiga pemimpin mereka berpendapat bahwa minyak yang telah dibacakan ayat-ayat suci al-Qur’an dapat berkhasiat terhadap kayu yang patah, maka kepada manusiapun akan bermanfaat.
Mereka pun bermusyawarah untuk mempraktikan itu ke manusia hingga akhirnya musyawarah tercapai yaitu dengan ditetapkannya tanggal dilakukan percobaan terhadap manusia dengan menggunakan lidi aren yang menurut kepercayaan masyarakat merupakan senjata yang bertuah.