Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pria Asal Jakarta Ini Pilih Bertahan di Padepokan Menunggu Yang Mulia Taat Pribadi Bebas

Seperti biasanya, saya ke sini dan teman- teman untuk mendukung yang mulia. Kami berangkat dari padepokan bersama-sama

Editor: Sugiyarto
zoom-in Pria Asal Jakarta Ini Pilih Bertahan di Padepokan Menunggu Yang Mulia Taat Pribadi Bebas
surya/galih lintartika
Pengikut Dimas Kanjeng Taat Pribadi menunggu persidangan di depan pintu PN Kraksaan, Rabu (12/7/2017). 

TRIBUNNEWS.COM , PROBOLINGGO - Yoing, salah satu pengikut Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo tampak bersemangat saat ditemui SURYA.co.id di PN Kraksaan, Rabu (12/7/2017) siang.

Ia mengaku sudah beberapa kali hadir dalam persidangan Yang Mulia (Sebutan Taat Pribadi di padepokan).

"Seperti biasanya, saya ke sini dan teman- teman untuk mendukung yang mulia. Kami berangkat dari padepokan bersama-sama, ada yang naik angkot, mobil pribadi, dan ada yang naik sepeda motor," katanya kepada SURYA.co.id.

Pengikut asal Jakarta ini sudah setahun hidup di padepokan. ia tinggal bersama istrinya di Probolinggo.

Pasca berlayar di lautan, tahun 2016 , ia memutuskan untuk memperdalam ilmu agama di padepokan ini.

Sayangnya, takdir berkata lain. Belum lama belajar ilmu agama, Taat Pribadi ditangkap polisi.

"Awalnya sempat shock, apa benar yang mulia bersalah. Tapi seiring berjalannya waktu, saya percaya kalau yang mulia tidak bersalah. Biarkan nanti dilihat hasil akhirnya saja. yang benar biarkan benar, dan yang salah biarkanlah bersalah," katanya.

Berita Rekomendasi

Meski demikian, kata dia, aktivitas di padepokan tidak pernah berubah sedikit pun meski Taat Pribadi sedang menjalani proses hukum. Kata dia, aktivitas masih berjalan seperti sedia kala.

"Masih kok, masih berjalan. Makanya saya bertahan di padepokan, karena masih ada aktivitas di padepokan. Saya tetap bisa belajar agama kok," paparnya.

Menurut Yoing, setiap pagi, masih ada agenda salat Shubuh berjamaah, dan dilanjutkan dengan salat wajib di waktu Dhuhur, Ashar, Magrib dan Isya.

Ada juga amalan-amalan sunnah yang tetap dilakukan, semisal pengajian, dan sebagainya.

"Apa yang sudah diajarkan yang mulia tetap kami lakukan sampai sekarang. Cuma bedanya, kalau dulu ada yang membimbing, sekarang tidak ada. jadi kami sekarang mandiri, kami lakukan bersama-sama," ungkapnya.

Dikatakan Yoing, pengikut padepokan ini memiliki latar belakang sosial yang bermacam-macam.

Namun, dari situlah , mereka membuat sebuah jaringan untuk menjadi kompak.

Bahkan, ia pun menyebut berawal dari situ, para pengikut ini kuat dan bersatu untuk menjadi sebuah keluarga yang utuh.

"Kami dipertemukan dalam kondisi yang sama, yakni nyaman berada di padepokan ini. jadi apa yang kami bisa, ya kami lakukan disini. contohnya, ada yang pintar mengaji, ya diajarkan mengaji. Ada yang pintar berwirausaha, ya belajar wirausaha. Kami ada, karena padepokan ini. Orang tidak pernah tau apa yang kami rasakan disini," tandasnya.

Yoing mengaku tidak akan pulang ke Jakarta dan akan tetap bertahan di padepokan.

Ia beralasan bahwa padepokan ini menjadi rumahnya. Ia merasa betah dan nyaman berada di padepokan.

"Saya hanya menunggu yang mulia bebas saja. Setelah itu, saya akan kembali belajar di padepokan ini secara utuh seperti dulu bersama yang mulia," tambahnya.

Sumber: Surya
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas