Mahasiswa UMS Buat Alat Pembuat Garam, Tak Tergantung Cuaca, Bisa Jadi Solusi Atasi Kelangkaan Garam
Kelangkaan garam di Jatim sangat disayangkan mengingat banyak sumber untuk memproduksi hasil tambak tersebut.
Penulis: Fatkul Alamy
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA – Kelangkaan garam di Jatim sangat disayangkan mengingat banyak sumber untuk memproduksi hasil tambak tersebut.
Besarnya lahan pesisir dan jaminan sumber matahari sebagai tenaga alternatif menginspirasi mahasswa Universitas Uhammadiyah (UM) Surabaya untuk membuat garam kualitas industri.
Zainal Abidin, mahasiswa teknik etektro UM Surabaya menciptakan sebuah alat inovasi bemama ”Pelita". Tak hanya mengubah air laut menjadi garam, namun alat yang dibuatnya juga menghasilkan air tawar.
"Saya juga punya teman yang orang tuanya pemandu wisata di daerah pesisir. Dia sering cerita kalau mencari air tawar cukup sulit di daerah pantai."
"Selain itu petani garam sering gagal panen karena cuaca tidak menentu,” ungkapnya ketika ditanya alasannya membuat alat yang menjadi kebanggaannya tersebut, Jumat (4/8/2017).
Ia pun berusaha mencari alternatif energi untuk alat yang harus diletakkan di area tambak garam.
Untuk menyiasati sulitnya listrik dan perubahan cuaca di area tambak garam atau pesisir, iapun mengunakan panel surya sebagai sumber listrik untuk alat ini.
Dia menjelaskan, untuk proses pengelolaan air laut menjadi garam dan air tawar dengan alat ini cukup mudah.
Alat lebih dahulu harus dipanaskan selama minimal empat jam untuk mendapatkan energi dari matahari melalui solar cell.
"Kemudian setelah mengisi energi yang disimpan di aki dan diubah menjadi energi tegangan AC menggunakan inverter untuk energi proses destilasi (untuk memisahkan air laut menjadi garam dan air tawar)," ujarnya.
Solar cell ini, kata Zainal akan tetap menghasilkan energi walau dalam keadaan mendung. Hal itu karena ada aki yang berfungsi menyimpan energi dari matahari.
Ia berharap bisa memberikan manfaat pada petani garam yang sering gagal panen. Selian itu, produksi garam dari alat ini sudah dalam keadaan bersih, sehingga saat dijual di industr harganya akan tinggi.
“Ini masih tahap penelitian, kalau ada yang berminat mungkin bisa membantu untuk pengembangannya agar bisa diketahui skala produksi yang bisa dihasilkan alat ini,” tegasnya.
Kepala biro Kemahasiswaan, Junaidi Feri Efendi mengungkapkan inovasi ini mendapat dukungan penuh dari universitas.
Sebab fungsinya dapat memberi solusi atas permasalah di masyarakat. Apalagi letak geografis UM Surabaya berada di wilayah dekat dengan laut, yang juga memiliki potensi untuk menghasilkan garam.