Sisi Lain Budaya Sumba: Pria Berparang Ada Dimana-mana, Namun bukan Untuk Berperang
Parang yang dibawa berukuran panjang dan diselipkan di pinggang dengan dibalut kain. Hampir semua parang panjangnya sekitar 40 cm.
Penulis: Yulis Sulistyawan
Di desa yang berada di perbukitan kering nan tandus, terlihat pria membawa parang kemanapun.
Warga yang hadir menyaksikan kegiatan sosial yang dilakukan komunitas 1000 Guru dengan KFC Indonesia di SDN Mata Wee Tame, juga tak ketinggalan membawa parang ke sekitar sekolah.
Dengan bangga mereka memamerkan Katopo atau parang saat Tribunnews hendak mengabadikan gambar mereka.
Nono Nale (70) misalnya. Ia sempat berakting silat dengan Katopo nya yang mengilat.
Tribunnews juga sempat mencoba memegang katopo milik warga itu.
Gagangnya sekitar 10 cm dan besinya berukuran sekitar 40 cm.
Warna besi katopo itu mengilat dan sangat tajam.
Baca: Melihat Sekolah di Pedalaman Sumba: Gedung Reyot Mirip Kandang Ayam dan Siswa Kurang Gizi
Menurut Nono Nale, membawa katopo adalah bagia dari kebudayaan warga. Sehingga kemana pun mereka bepergian, selalu membawa alat ini.
"Semua laki-laki harus membawa katopo kemana saja pergi. Katopo ini untuk berladang,berburu, potong babi,potong kerbau,potong sapi,potong ayam. Semua pakai katopo. Kalau tak ada katopo, laki-laki tak bisa bekerja," ujar Nono Nale.
Hal senada disampaikan Yusup Kanata (35). Menurutnya, tanpa Katopo lebih baik tinggal di rumah saja.
Katopo hanya dilepas saat mandi atau tidur. Itupun letaknya tak jauh dari pemiliknya.
Nono Nale menambahkan, Katopo juga dibawa ke acara apapun. "Ketika ada pesta atau ada yang meninggal, kami selalu bawa Katopo," ujar Nono Nale.
Bukan Untuk Berkelahi
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.