Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pembangunan Energi Baru Butuh Negarawan Bukan Politisi

Pembangunan sektor energi, termasuk energi baru terbarukan (EBT) memerlukan visi kenegarawanan

Editor: Rachmat Hidayat
zoom-in Pembangunan Energi Baru Butuh Negarawan Bukan Politisi
ISTIMEWA
dalam Seminar Energi Baru Terbarukan yang diselenggarakan Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Senin (11/12/2017) di Solo, Jawa Tengah. 

TRIBUNNEWS.COM, SOLO-Pembangunan sektor energi, termasuk energi baru terbarukan (EBT) memerlukan visi kenegarawanan. Pasalnya, pembangunan energi bersifat jangka panjang  sehingga memerlukan visi dan kemampuan merencanakan jangka panjang.

Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengemukakan hal itu saat menjadi pembicara dalam Seminar Energi Baru Terbarukan yang diselenggarakan Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Senin (11/12/2017) di Solo, Jawa Tengah.

"Pembangunan sektor energi hanya bisa dilaksanakan oleh negarawan, tidak bisa diserahkan ke politisi. Negarawan berpikir jangka panjang sampai generasi berikutnya, sementara politisi berpikir jangka pendek, berpikir kalender Pemilu bagaimana caranya bisa terpilih kembali,"ujarnya.

Menurut Sudirman, jika sektor energi dijadikan instrumen politik praktis, baik secara kebijakan maupun pada tataran praktis maka keberlangsungannya (sustainability) akan dikorbankan.

"Sikap seperti ini pasti akan mengorbankan kebijakan pembangunan energi baru terbarukan," katanya.

Sudirman mengungkapkan, pembangunam EBT dalam jangka pendek memang dirasa mahal. Tetapi dalam jangka panjang menjadi murah dan berdampak positif pada ketahanan dan kedaulatan energi nasional.

"Membangun sektor energi, terutama energi baru terbarukan adalah membangun untuk generasi berikutnya.   Karena itu diperlukan kenegarawanan. Hanya pemimpin negarawan yang akan berjuang keras membangun energi baru terbarukan," tegasnya lagi.

Berita Rekomendasi

Sudirman menyampaikan, energi merupakan sektor yang dibutuhkan oleh semua orang, tetapi hanya dipahami oleh sedikit orang. Hal ini membuat ruang moral hazard (pelangaran moral) menjadi terbuka lebar.
"Sedikit orang itu mencari keuntungan sebesar-besarnya dari sektor ini, salah satunya dengan mempertahankan impor dibanding membangun kemandirian energi nasional," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas