Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kisah Sepasang Kekasih Yang Harus Jalan Kaki Melewati Kubangan Lumpur Sejauh 1,5 KM Untuk Menikah

Pergerakan tanah di Dusun Pramen Desa Bantar Kecamatan Wanayasa membuat warga satu desa di Desa Suwidak, Wanayasa terisolasi.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Kisah Sepasang Kekasih Yang Harus Jalan Kaki Melewati Kubangan Lumpur Sejauh 1,5 KM Untuk Menikah
Istimewa
Nur Khasanah dan Bies, pasangan pengantin asal Suwidak Wanayasa Banjarnegara harus berjibaku dengan lumpur untuk bertemu dengan penghulu di desa seberang. 

Laporan Wartawan Tribun Jateng Khoirul Muzakki

TRIBUNNEWS.COM, BANJARNEGARA - Pergerakan tanah di Dusun Pramen Desa Bantar Kecamatan Wanayasa membuat warga satu desa di Desa Suwidak, Wanayasa terisolasi.

Aktivitas warga yang berhubungan dengan dunia luar jadi terhambat, mulai kepentingan ekonomi, pendidikan, administrasi kependudukan, hingga pernikahan.

Nur Khasanah (20) dan Bies (28), pasangan mempelai dari Desa Suwidak, tidak pernah terbayang jika hari perkawinannya, Senin (15/1/2018) lalu, bakal diwarnai bermacam rintangan.

Baca: Fakta Evy dan Anaknya Minum Racun: Motifnya Asmara, 3 Anaknya Dimakamkan Berdampingan

Mereka mendaftarkan rencana pernikahannya ke Kantor Urusan Agama (KUA) Wanayasa pada Jumat (5/1) silam.

Akad nikah dijadwalkan 15 Januari 2018 kemudian, bersamaan dengan acara resepsi pernikahan yang akan digelar di rumah mempelai perempuan, dukuh Buana, Desa Suwidak.

Berita Rekomendasi

Namun takdir tak mampu dibaca. Dua hari kemudian, Minggu (7/1), bencana alam melanda wilayah tersebut.

Nur Khasanah dan Bies, pasangan pengantin asal Suwidak Wanayasa Banjarne
Nur Khasanah dan Bies, pasangan pengantin asal Suwidak Wanayasa Banjarnegara harus berjibaku dengan lumpur untuk bertemu dengan penghulu di desa seberang. (Istimewa)

Puluhan hektar kebun warga di dukuh Pramen Desa Bantar longsor hingga memutus jalan kabupaten yang menghubungkan Desa Suwidak dengan desa lain.

Sebagian wilayah desa Suwidak di bentang alam yang sama pun ikut mengalami pergerakan hingga sejumlah rumah mengalami kerusakan.

Apakah pernikahan tertunda karena longsor?

Acara pernikahan telah direncanakan matang dari dua pihak keluarga. Segala persiapan sudah disusun, termasuk undangan yang siap disebar.

Tak mungkin pernikahan ditunda begitu saja. Sementara bencana alam tak diketahui sampai kapan akan berakhir.

Mereka memutuskan tetap akan menggelar pernikahan tanpa harus mengubah jadwal.

"Karena sudah dijadwal akad nikahnya tanggal itu dengan penghulu, persiapan sudah semua. Jadi gak mungkin diubah lagi,"kata kakak Nurkhasanah, Endang Pujiastuti, Kamis (18/1/2018)

Mereka pun menyadari, konsekuensi menikah di tengah kondisi desa yang masih terisolasi dan terancam pergerakan tanah.

Hingga hari perkawinan itu datang, Senin (15/1), rumah mempelai perempuan di Dukuh Buana Desa Suwidak mulai ramai didatangi tamu.

Ijab kabul keduanya dijadwalkan pukul 07.00 Wib yang dilanjut acara resepsi pukul 09.00 Wib kemudian.

Sang penghulu dari KUA direncanakan datang ke tempat pernikahan melalui jalur alternatif via Desa Karang Tengah Suwidak karena jalan utama longsor.

Namun, meski pagi mulai beranjak, sang penghulu dari KUA Kecamatan Wanayasa belum juga datang. Keluarga mulai cemas, pasangan pengantin terlebih panik.

Sementara para tamu undangan telah duduk rapi dan menunggu rangkaian acara berlangsung.

Komunikasi dengan penghulu sulit dilakukan karena jaringan seluler di desa terpencil itu putus-putus.

Setelah komunikasi dengan penghulu tersambung, mereka berupaya cari jalan keluar. Penghulu ternyata masih terjebak di dusun Beji Desa Karang Tengah.

Kendaraannya tak bisa masuk ke Desa Suwidak karena jalur alternatif via dusun Beji susah ditaklukkan.

Panitia sempat berupaya menjemput penghulu menggunakan sepeda motor trail yang mampu menembus medan sulit. Namun itu urung dilakukan karena kondisi jalan terjal dan berlumpur.

"Penghulunya masih di dusun Beji gak bisa masuk ke Suwidak. Jalan alternatifnya sulit dijangkau," katanya

Hari mulai beranjak siang. Acara pernikahan sudah dipastikan molor. Bagaimanapun, akad nikah yang menjadi inti acara harus tetap dilangsungkan.

Akhirnya, sang pengantin memutuskan menjemput penghulu di desa seberang untuk mengesahkan perkawinan mereka.

Acara ijab kabul di rumah terpaksa dipindah ke tempat yang belum diketahui di desa tetangga.

Mulanya pengantin akan diantar menggunakan trail untuk bertemu penghulu di dusun Beji.

Namun medan jalan alternatif sejauh sekitar 1,5 kilometer menuju dusun itu becek dan berlumpur.

Jika sampai terpeleset dan jatuh, masalah bagi pengantin akan lebih fatal karena badan sakit hingga kostum pengantin belepot tanah.

Pasangan ini akhirnya mengalah pada keadaan. Mereka putuskan untuk menaklukkan medan itu dengan berjalan kaki. Sepatu pengantin dilepas, berganti sepatu boot yang lebih cocok dengan medan tersebut.

Mereka harus berjuang menaklukkan medan terjal dan berlumpur demi satu tujuan, menghalalkan cinta sebagai sepasang suami istri yang sah.

"Kondisi jalan kayak gitu, kalau paksa pakai motor bisa jatuh,"katanya

Karena acara di luar rencana, masalah kemudian adalah tempat untuk menggelar akad nikah di dusun orang. Untungnya, seorang petani yang hendak pergi ke ladang, Sukamto, memahami kondisi pengantin yang nelangsa itu.

Di rumah petani itu, mereka berhasil menggelar acara ijab kabul secara sederhana. Perjuangan pasangan mempelai ini akhirnya berakhir bahagia dengan status baru yang disandang sebagai suami istri.

"Meski acara molor, tidak masalah. Yang penting mereka sah dan resepsi bisa dilangsungkan kemudian,"katanya

Perjuangan mempelai pria, Bies dan keluarganya untuk sampai ke rumah mempelai perempuan di Desa Suwidak ternyata juga tak mudah.

Rombongan pengantin pria dari Desa Nagasari Kecamatan Pagentan ini tak bisa mengakses desa pengantin perempuan karena jalan utama putus. Sementara jalan alternatif susah dilalui.

Iring-iringan pengantin pria itu akhirnya memilih mengambil rute yang tak biasa. Mereka harus mengarungi jalur hutan, lalu menyeberang sungai Merawu yang menghubungkan ke Desa Suwidak.

Nahas, tiada jembatan yang bisa dipakai untuk menyeberang. Mereka harus turun ke sungai beraliran deras, lalu mengarunginya agar sampai ke tepi sungai di daratan seberang.

"Harus menyeberang sungai yang tidak ada jembatannya. Karena tidak ada jalan lain,"katanya.
Nur Khasanah dan Bies, pasangan pengantin asal Suwidak Wanayasa Banjarnegara harus berjibaku dengan lumpur untuk bertemu dengan penghulu di desa seberang.

Kepala Desa Suwidak Arif Santosa mengatakan, kesulitan yang dialami pasangan pengantin di desanya ini mewakili kesusahan warga satu desa yang menderita karena terisolasi.

Karena keterisolasian ini, warga susah mengakses kebutuhan pokok, mengurus bermacam kebutuhan ke luar desa, mengirim hasil pertanian, hingga mengakses pendidikan bagi anak-anak yang bersekolah di luar desa.

Karena itu warga berharap agar jalan alternatif via Desa Karang Tengah diperbaiki hingga layak dilalui kendaraan. Sebab jalan utama tak memungkinkan dilakukan perbaikan karena beberapa titik lenyap terbawa longsor.

"Warga harap jalan akses bisa dilalui kendaraan baik motor maupun mobil agar tak terus terisolasi," katanya. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas