Komisi Penyiaran Indonesia di Pusat Maupun di Daerah Dapat Menjadi Pahlawan Dalam Mengawal Perubahan
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menegaskan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) baik di pusat maupun di daerah
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, PALU - Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menegaskan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) baik di pusat maupun di daerah dapat menjadi pahlawan dalam mengawal perubahan di era Revolusi Industri 4.0.
“Untuk bisa menjadi hero, menjadi pahlawan, syaratnya harus menjadi pemberani. Berani bersuara dalam rangka menjaga keutuhan NKRI, dalam menghadapi dunia yang berubah sangat cepat, kompleks dan penuh risiko,” kata Moeldoko.
Hal tersebut disampaikan Moeldoko dalam seminar utama menyambut Hari Penyiaran Nasional bertema “Menjaga Keutuhan NKRI melalui Dunia Penyiaran yang Sehat dan Berkualitas” di Palu, Sulawesi Tengah, Senin (2/4).
Selain Moeldoko, hadir sebagai narasumber antara lain Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Wakil Ketua Komisi I DPR-RI Asril Tanjung, dan pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie.
Seminar ini dihadiri oleh komisioner Komisi Penyiaran Indonesia dan ratusan anggota KPI Daerah dari seluruh Indonesia.
Sekarang ini, menurut Moeldoko, masyarakat sering diombang-ambingkan dengan informasi yang simpang siur dan tidak benar.
“Contohnya, seringkali Pemerintah dituding hanya membangun fisik, membangun infrastruktur saja. Padahal, jika dipahami lebih jauh, dalam pembangunan fisik dan infrastruktur, di dalamnya terkandung upaya membangun konektivitas, membangun mentalitas masyarakat, membangun peradaban manusia. Jika hanya memperhitungkan aspek politik atau ekonomi saja, maka pembangunan hanya akan bertumpu di Pulau Jawa. Kebijakan seperti itulah yang membedakan politisi dan negarawan,” kata mantan Panglima TNI tersebut.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, “Penyiaran yang sehat hanya bisa diwujudkan jika industrinya sehat. Bisnisnya harus berjalan baik dan berkualitas. Menurut catatan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rudi mengatakan, terdapat 2.673 ijin yang sudah beroperasi.
“Sekitar 1.100 adalah izin siaran televisi, dan sekitar 1.600 izin radio, termasuk LPP dan LPK. Pemerintah sekarang ini memberlakukan moratorium izin baru, karena kita peduli dengan keberlangsungan industri penyiaran yang sudah ada. Pemerintah bertugas untuk membina supaya industrinya dapat berkelanjutan,” jelas Rudiantara.
Rudiantara menambahkan, industri penyiaran sekarang sedang menuju ke arah digital, dan potensinya luar biasa besar.
“Nilainya sekitar 39,9 miliar US$ atau sekitar Rp500 triliun dalam 7 tahun ke depan. Selain itu akan terbuka lapangan pekerjaan baru, peningkatan pajak dari industri penyiaran digital. Ada kurang lebih 230 ribu lapangan kerja baru dari industri penyiaran digital ini,” kata Rudiantara.
Sementara itu, pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie mengatakan, UU Penyiaran No 32 tahun 2002 itu lahir dengan penuh kontroversi.
“Ini adalah salah satu UU yang tidak diteken oleh Presiden pada waktu itu. Kenapa tidak diteken, sumber masalahnya ada pada ketidaksukaan industri penyiaran terhadap UU ini. UU itu itu memiliki kelemahan, di mana fungsi regulator yang seharusnya diemban oleh KPI, menjadi lemah,” ujar Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Jimly menambahkan, sekarang ini, terdapat tiga pasar bebas yang sudah mendunia. Pertama bisnis pasar bebas. Di Indonesia, terdapat KPPU yang berfungsi mengendalikan pasar yang bebas tersebut. “KPPU diperlukan oleh negara untuk mengendalikan bisnis pasar bebas,” katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.