Mengingat Kembali Gejer Bali, Gempa Bumi Dahsyat yang Merenggut Sepuluh Ribu Jiwa Dua Abad Silam
Tepatnya 22 November 1816 terjadi gempa bumi Bali yang berpusat di Buleleng, Selatan kerajaan Buleleng. Gempa bumi itu menelan 10.252 korban jiwa.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, SINGARAJA – Tepatnya 22 November 1816 terjadi gempa bumi Bali yang berpusat di Buleleng, Selatan kerajaan Buleleng.
Gempa bumi itu menelan 10.252 korban jiwa.
I Made Kris Adi Astra dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Bali dalam diskusi 200 Tahun ‘Gejer Bali’ pada akhir 2015 di Puri Kanginan Singaraja mengatakan, gempa Bali ini masih berkaitan dengan letusan Gunung Tambora tujuh bulan sebelumnya.
“Efek letusan Tambora menyebabkan perubahan iklim yang sangat drastis, tidak ada panas, hujan terus menerus, saat gempa bumi terjadi, tanah menjadi rapuh dan diikuti air bah, ini juga diceritakan dalam Babad Buleleng dan Babad Panji Sakti,” ungkapnya kala itu.
Dikatakan, pegunungan-pegunungan ketika itu rapuh dan menjadi longsor.
Menurutnya pegunungan di Bali menjadi satu kesatuan sampai pegunungan di Alor.
“Di Bali ini dikelilingi pegunungan purba yang menjadi satu kesatuan dan sudah rapuh. Ada pegunungan purba di Pulaki, ada Batukaru, Buyan, Beratan, Tamblingan, Batur, Rinjani, Tambora, jadi satu jalur ini mereka,” katanya.
Jalur-jalur pegunungan ini menurutnya adalah pembangkit gempa bumi yang akan tetap hidup dan menghasilkan gempa bumi.
Jalur ini melintas di bawah laut sepanjang Selatan Bali.
“Di bawah laut ada bebatuan yang masuk merangsek ke bawah, hasil penelitian dari BMKG, pada kedalaman tertentu sekitar 130-150 kilometer di bawah Bali, batuan ini mulai meleleh karena gesekan dan panas yang terjadi, sehingga menghasilkan magma di Gunung Agung, sedangkan gesekan-gesekan yang turun mengahsilkan gempa bumi di selatan Jawa Bali, NTB dan NTT,” jelasnya.
Selain pembangkit gempa bumi di Selatan, di Bali juga ada pembangkit gempa bumi dari Utara, sehingga Pulau Bali ini diapit oleh dua pembangkit gempa bumi.
Bahkan menurutnya, pembangkit gempa bumi Utara ini lokasinya ada di bawah laut Buleleng. Patahan pembangkit gempa bumi ini memanjang dari Bali, Lombok, Flores, Alor sampai laut Banda.
Pembangkit gempa bumi Utara inilah yang menyebabkan gempa bumi Buleleng 1815, gempa Seririt 1976 dan Karangasem 1979.
Meski telah memastikan lokasi gempa bumi, tetapi ia tidak dapat memastikan waktu akan terjadinya gempa bumi di Buleleng.
“Yang Utara ini lebih berbahaya dari Selatan karena berjarak lebih dekat dari pemukiman penduduk dan lebih berpotensi bangkit kembali karena kedalaman yang dangkal dan berpotensi menyebabkan kerusakan yang luar biasa,” katanya.
Di sisi lain, arsitek Rumah Intaran, Gede Kresna mengatakan, rumah tradisional zaman dahulu lebih tahan gempa daripada rumah modern saat ini.
Ia mencontohkan rumah-rumah tradisional di Desa Sidatapa, Buleleng yang tahan gempa ketika terjadi gempa Seririt pada 1976 lalu.
Rumah tradisional di Sidatapa menurutnya memiliki balai di dalamnya.
“Konstruksinya tidak menancap ke dalam tanah, tetapi ada di atas tanah, begitu ada gerakan tanah, ikut bergerak atau bergeser, sehingga tidak mengakibatkan korban."
"Kalaupun ada tembok yang runtuh, orang Sidatap mengangkat bangunannya sedikit ke atas. Begitu ada gerakan di bawah, jatuhnya tembok akan keluar karena gravitasi,” terangnya. (*)
Berita ini pernah diterbitkan Tribun Bali sebelumnya pada 22 November 2015