Mengungkap Mitos di Balik Teriakan 'Idup Idup Idup' Warga Bali Saat Terjadi Gempa
Ketika terjadi gempa bumi, biasanya orang Bali akan berteriak "idup... idup... idup..."
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Ketika terjadi gempa bumi, biasanya orang Bali akan berteriak "idup... idup... idup..."
Selain itu mereka juga akan memukul kentongan dengan ritme cepat: tung tung tung tung tung....
Ada apa sebenarnya makna di balik itu?
Selama ini beredar mitos tentang seorang anak manusia yang berubah menjadi naga.
Dikisahkan pada jaman dahulu ada janda yang memiliki dua anak yaitu lelaki anak pertama dan perempuan anak kedua di wilayah Beratan.
Janda tersebut memiliki hubungan dengan seekor naga di lumbung padinya.
Suatu hari, ketika ibunya pergi ke hutan, anak lelakinya naik ke lumbung dan menemukan telur besar lalu telur itu dimasak.
Usai makan telur, anak lelaki ini berubah jadi naga.
Sang adik lalu membawa sang kakak yang sudah jadi naga ke tengah hutan bertemu ibunya.
Di hutan mereka bertemu dengan ibunya yang sedang memadu kasih dengan seekor naga.
Marah dengan ulah sang ibu terjadilah pertempuran antara lelaki yang berubah menjadi naga dengan naga 'kekasih' ibunya.
Naga itu bisa dikalahkan namun sang ibu akhirnya juga meninggal.
Kakak beradik ini kemudian berjalan ke arah Bukit Lesung.
Sampai di Bukit Lesung, sang kakak yang sudah jadi naga masuk ke dalam perut bumi.
Sehingga saat sang kakak gelisah ingin tahu kabar adiknya akan terjadi gempa.
Dan saat terjadi gempa maka orang Bali akan berteriak idup idup idup sambil membunyikan kentongan untuk memberitahu bahwa sang adik masih hidup di atas.
Namun faktanya, menurut Staf Pusat Kajian Lontar Unud, Putu Eka Guna Yasa hal itu merupakan tradisi lisan yang diteruskan secara turun-temurun.
"Itu tradisi lisan. Tidak ada mengenai hal itu dalam lontar," kata Guna ketika dihubungi Senin (6/8/2018) siang.
Ada dua makna yang terkandung dalam teriakan idup idup sambil memukul kentongan tersebut.
Pertama berfungsi untuk mempercepat sosialisasi keadaan yang kacau, maupun panik dan memberi tahu atau memberi tanda kepada orang lain bahwa sedang terjadi gempa sehingga bisa melakukan proses penyelamatan diri.
"Yang kedua membalikkan kesadaran, agar keadaan yang kacau atau huru hara menjadi damai atau santai dengan sugesti yang positif," katanya.
Perilaku Hewan, Anjing Hingga Cacing Bisa Jadi Pertanda Gempa Bumi?
Cerita tentang hewan yang berubah perilaku ketika bencana akan datang cukup umum di Indonesia.
Mulai dari hewan yang turun gunung, cacing yang keluar dari tanah, atau hewan ternak yang gelisah sering diartikan sebagai salah satu tanda gempa bumi.
Namun, benarkah perilaku hewan-hewan ini bisa dijadikan patokan sebagai tanda akan terjadinya gempa bumi?
Sebenarnya berbagai penelitian telah mencoba menggali ke dalam statistik di balik perilaku hewan yang tak biasa sebelum terjadinya gempa
Sebagian bisa memikirkan mekanisme yang mungkin pada dua hal ini.
Kini, sebuah penelitian terbaru mencoba menganalisis kembali data dari penelitian-penelitian sebelumnya.
Peneliti yang berasal dari GFZ German Research Centre for Geosciences ini menghubungkan pengamatan pada hewan peliharaan dan ternak dengan skala dan lokasi gempa.
"Banyak makalah kajian tentang potensi hewan sebagai prekusor (pertanda) gempa, tetapi sejauh pengetahuan kami, ini adalah pertama kalinya pendekatan statistik digunakan untuk mengevaluasi data," ungkap Heiko Woith, penulis utama penelitian ini dikutip dari Science Alert, Kamis (19/04/2018).
Untuk itu, Woith dan timnya mengumpulkan 180 penelitian yang menganalisis 729 laporan perilaku aneh hewan terkait dengan 160 gempa bumi.
Mereka menganalisis meta-data penelitian-penelitian tersebut dengan memperhatikan rician seperti besar gempa, jarak, ativitas foreshock (gelombang sebelum gempa utama), dan kualitas penelitian tersebut.
Secara keseluruhan, para peneliti mencatat perilaku yang diamati berasal dari 130 spesies berbeda.
Mulai dari anjing, sapi, bahkan ulat sutera.
Meski datanya terbilang melimpah, para peneliti menyimpulkan bank bukti ini mengalami keterbatasan kritis.
Itu karena hampir semua penelitian, kecuali 14, didasrkan pengamatan tunggal.
Selain itu, tak adanya jadwal membuat mereka sulit mengevaluasi secara obyektif bagaimana perilaku khusus ini berbeda dengan perilaku normal.
Ini membuat para peneliti tidak bisa menyingkirkan biar konfirmasi tentang pola perilaku.
Namun, penelitian yang dipublikasikan dalam Bulletin of the Seismological Society of America ini menyarankan bahwa perilaku aneh para hewan mungkin dipengaruhi getaran awal.
Dengan kata lain, hewan mungkin lebih sensitif pada getaran awal.
"Hewan-hewan itu mungkin merasakan gelombang seismik - gelombang P (primer) atau S (permukaan) - yang dihasilkan oleh foreshick," ujar Woith.
"Pilihan lain, bisa jadi merupakan efek sekunder yang dipicu oleh foreshocks, seperti perubahan air tanah atau pelepasan gas dari tanah yang mungkin dirasakan oleh hewan," imbuhnya.
Kita juga tak bisa mengesampingkan kemungkinan bahwa hewan punya "super-sense".
Dengan mencatat aktivitas populasi hewan dalam jangka panjang, jauh sebelum gempa bumi, kita mungkin bisa mendapat informasi yang lebih baik bagaimana perubahan perilaku mereka terkait dengan sifat gempa.
"Sampai saat ini, hanya sedikit seri waktu yang terkait dengan perubahan perilaku hewan. Paling lama hanya satu tahun," kata Woith. (*)
Artikel ini telah tayang di tribun-bali.com dengan judul Kenapa Saat Terjadi Gempa Bumi Orang Bali Teriak Idup idup idup?