Akal Sehat Membuat Filterisasi Mana yang Baik Untuk Indonesia kata Dahnil Anzar
Di tengah kemajuan teknologi informasi yang melahirkan sosial media sekarang ini, bangsa Indonesia tidak hanya harus menjaga persatuan dan kesatuan
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, TANGERANG - Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dr. Dahnil Anzar Simanjuntak menilai penyebaran pesan persatuan dan perdamaian di media sosial harus terus digalakkan. Namun ia mengingatkan bahwa dalam berinteraksi di media sosial, ada dua hal yang harus dirawat.
Pertama nalar atau akal yang sehat. Ini penting untuk melakukan filterisasi terhadap narasi yang diproduksi banyak kelompok yang kecenderungan ekstremisme.
“Akal yang sehat ini akan membuat filterisasi mana yang baik untuk Indonesia dan mana yang baik untuk anak muda khususnya, juga untuk masyarakat secara keseluiruhan,” ujar Dahnil di Tangerang, Rabu (15/8/2018).
Kedua, lanjut Dahnil, akal sehat saja tidak cukup tetapi harus punya akhlak yang baik. Makanya substansi dalam beragama itu sebenarnya adalah akhlak yang baik. Dan itu pernah dicontohkan Rasulullah SAW saat ditanya tenang makna agama. Beliau menjawab bahwa agama itu adalah akhlak yang baik.
“Jadi substansi beragama itu adalah menghadirkan akhlak yang baik. Kalau kemudian narasi-narasi ekstremisme itu diproduksi di media sosial itu dengan narasi kebencian kepada kelompok lain, tidak welcoming the others (tidak menerima pendapat orang). Bagi saya narasi ekstremisme adalah narasi yang tidak bersesuaian dengan nilai akhlak yang baik dalam islam. Oleh sebab itu, rawat akal sehat hadirkan akhlak yang baik dalam untuk menjaga persatuan dan kesatuan, terutama di media sosial,” urai Dahnil.
Menjelang peringatan HUT RI ke-73 ini, Dahnil juga mengajak generasi muda untuk mengingat sejarah. Menurutnya, selama ini momentum peringatan 17 Agustus, jarang digali bahwa Kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari perjuangan para pemuda dan berkat semangat pemuda itulah kemudian diproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Bahkan sebelum proklamasi, para proklamator Indonesia sempat melakukan proses dialog dengan para pemuda. Jauh sebelum itu, ide pertama dilakukan persatuan lahir juga dari para pemuda dengan adanya Sumpah Pemuda 1928, dimana melalui proses dialog, Jong java, Jong Celebes, Jong Sumatera, Jong Ambon dan lain-lain, menyatakan tekad yang satu yaitu Indonesia. Tekad itu dicanangkan ditengah perbedaan yang ada di Indonesia.
Lalu apa yang membuat para pemuda itu merasa sama dan bersatu? Dahnil menjelaskan bahwa semua itu didasari akal sehat. Orang yang akalnya sehat pasti bisa melihat perbedaan itu sebagai sesuatu yang menyatukan karena dia bisa berdialog.
Jadi perbedaan itu justru bukan memecah, tapi menyatukan. Jadi jangan dipaksa untuk sama, tapi bagaimana setiap individu bisa menerima perbedaan dan menyatukan.
“17 Agustus harusnya kita maknai itu sebagai momentum persatuan. Anak muda jangan anti dialog, anak muda jangan tutup akal sehatnya dan akal baiknya. Jadikan peringatan hari kemerdekaan ini sebagai momentum untuk memaknai bahwa persatuan dan kesatuan Indonesia disatukan oleh tradisi dialog dan akal sehat. Dan itu harus diwujudkan baik dalam keseharian di dunia nyata dan saat berinteraksi di dunia maya,” jelas jebolan S3 Universitas Diponegoro ini.
Belum lagi saat ini bangsa Indonesia tengah memasuki tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres), Dahnil kembali mengingatkan kata kunci di atas yaitu akal sehat dan akhlak baik.
Menurutnya, bila orang memiliki dua kunci itu, maka perbedaan itu bukan suatu yang mengerikan, tetapi perbedaan itu diartikan sebagai sesuatu yang menggembirakan karena substansi kehidupan beragama dan kehidupan kebangsaan adalah keberagaman.
Jadi, lanjut Dahnil, keragaman itu adalah sunatullah dan tidak bisa ditolak, malah keberagaman itu harus digemberikan. Orang yang menggembirakan keberagaman adalah orang yang akkhlaknya tinggi dan akalnya sehat. Sebaliknya, orang yang tidak bisa menerima perbedaan pasti tidak bisa berdialog, karena akalnya tidak sehat. Oleh sebab itu, etika Pilpres, tidak masalah mau pilih siapapun, asal tidak merusak substasi dasar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila.
“Jangan rusak NKRI kita, jangan rusak persatuan kita. Jadi kontestasi Pilpres harus dibingkai dalam kontestasi gagasan dan ide. Bukan kontestasi dalam bentuk identitas, misalnya identitas keagamaan, latar belakang, dan sebagainya. Berbeda tidak apa-apa, malah justru perbedaan itu menunjukkan kita bangsa yang besar, demokrasi yag berbeda, debat yang sengit menunjukkan bahwa demokrasi kita sehat,” tutur Dahnil Anzar Simanjuntak.