Mayoritas Masyarakat Indonesia Menolak Radikalisme kata Hamli
Berbagai kejadian konflik domestik di Irak dan Suriah telah menjadi eksploitasi teroris dengan memperkeruh suasana di negara-negara tersebut.
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Situasi konflik selalu menjadi lahan subur bagi masuknya kelompok radikal teroris.
Berbagai kejadian konflik domestik di Irak dan Suriah telah menjadi eksploitasi teroris dengan memperkeruh suasana di negara-negara tersebut.
"Kelompok radikal teror paling suka jika ada konflik.Di sana mereka anggap sebagai lahan berperang" demikian ditegaskan oleh Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ir Hamli, ME dalam Kuliah Umum yang diselenggarakan oleh Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dengan "Menangkal Radikalisme di Kampus", Selasa (21/8/2018).
Dalam kegiatan dengan peserta mahasiswa baru pasca sarjana UPI tahun 2018/2019 ini, Hamli mengajak masyarakat meningkatkan kewaspadaan untuk tidak mudah terprovokasi ajakan konflik.
Masyarakat harus bisa menahan diri dari berbagai provokasi agar tidak menimbulkan konflik yang meluas di lingkungan sosial.
"Hindarilah konflik internal. Kita harus jaga ego-ego kita karena konflik tidak hanya merugikan tetapi di situlah orang radikal teror masuk untuk memperkeruh suasana," tutur Hamli.
Termasuk, lanjut Hamli, masyarakat harus menjaga akal sehat ketika melihat konflik di luar negeri, karena itu juga mempunyai imbas kondisi dalam negeri. Beberapa konflik di regional seperti Thailand, Filipina dan Myanmar ternyata mempunyai imbas terhadap Indonesia.
"Jadi mahasiswa dan kalangan terdidik harus bisa bersikap cerdas dan tidak mudah termakan informasi hoaks dari konflik luar negeri yang dijadikan alat untuk meningkatkan emosi kebencian terhadap yang lain," kata Hamli.
Terorisme merupakan ujung dan pangkal hasilnya. Sementara itu untoleransi dan radikalisme merupakan bahan awal yang mendorong seseorang terjatuh dalam tindakan teror.
Saat ini masyarakat Indonesia, lanjut Hamli, memang sepakat bahwa terorisme harus ditolak. Tetapi, narasi radikalisme masih kuat di tengah masyarakat, misalnya narasi militansi kebencian, narasi keterancaman, narasi teori konspirasi, narasi umat yang didzalimi, dan narasi intoleransi sentimen keagamaan.
"Sebenarnya mayoritas masyarakat Indonesia ini menolak radikalisme, tetapi justru kita menjadi silent majority. Ingat Afganistan jatuh dalam kubangan konflik karena fenomena silent majority. Karenanya saya mengajak masyarakat yang mayoritas ini harus aktif bergerak untuk menangkal narasi-narasi radikalisme di tengah masyarakat." tutur Hamli.
Penyebaran narasi radikalisme saat ini menurut Hamli sudah sangat meresahkan. Paham dan narasi radikal telah menyebar di berbagai lini kehidupan masyakarat seperti sekolah, kampus, lembaga keagamaan dan masyarakat. Di lingkungan kampus fenomena radikalisme justru telah lama terjadi.
"Mempersempit ruang gerak paham dan narasi radikal harus dilakukan terpadu oleh pihak kampus baik di level kebijakan pemerintah, kebijakan kampus, kurikulum, penguatan bela negara, kegiatan mahasiswa." jelas Hamli.