Bermodalkan Topi SD dan Semangat, Tukang Becak Ini Kuliahkan Tiga Anaknya
Sorot mata lelaki tua itu begitu teduh namun mendalam, Sabtu (27/10/2018) itu.
TRIBUNNEWS.COM, BATAM - Sorot mata lelaki tua itu begitu teduh namun mendalam, Sabtu (27/10/2018) itu.
Tatatapannya lurus menerobos kerumunan orang yang berjalan di sepanjang trestel pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang.
Keramaian orang yang datang dan pergi silih-berganti seakan tidak mengusiknya, dia tetap mengayuh becaknya.
Jari-jarinya yang mulai keriput mencengkram palang besi yang kerap dipakainya sebagai kemudi. Kulit lengan itu tampak legam karena terpanggang begitu lama di bawah terik matahari.
Sepasang kakinya yang dekil kokoh di atas sandal jepit yang kumal. Kaki itu mengayuh kendaraan roda tiga ini dengan ritmenya sendiri.
Baca: Link Live Streaming Marcus/Kevin Vs China - Wakil Indonesia Satu-satunya di Final Perancis Open 2018
Kadang dia mengayuh sesaat, membiarkannya meluncurkan sendiri, lalu mengayuh lagi. Begitulah keseharian Suparmo (68), tukang becak pelabuhan dengan ciri khas topi milik anak SD.
Topi itu tidak pernah lepas dari kepala Suparmo setiap kali dia mengangkut barang penumpang dari pelabuhan. Ketika menyusuri jalan-jalan di pasar dan pelantar, topi ini selalu setia menjadi pelindung kepala di bawah terik matahari.
"Topi ini ibarat jimat keberuntungan buat saya," ucapnya dengan suara berat.
Siapa pernah menyangka, topi ini sudah dia pakai sejak 46 tahun silam. Beberapa kali topinya dia ganti karena bentuknya sudah lusuh, hilang, ataupun tidak layak pakai lagi.
"Pokoknya topi SD ini penuh sejarah," celetuknya lagi.
Dia mengenang, ketika mulai merantau ke Tanjungpinang, dia masih berumur 15 tahun. Rasa bangga sebagai lulusan SD membuatnya tidak sungkan-sungkan memakai topi ini.
Berbagai pekerjaan dia tekuni sebelum mengayuh becak di pelabuhan, mulai dari mencari kayu bakar, menjual es keliling dan menjual kue.
Hasil jualannya dia tabung kemudian dia gunakan untuk membeli becak. Suparmo sudah memiliki becak sendiri seharga Rp 1 juta pada tahun 1971 silam.
Baca: Akibat Cuaca Buruk, Laga Lazio Vs Inter Milan Terancam Ditunda
Dia pun mulai menjadi tukang becak. Sejak saat itu, ciri khas topi SD kian lekat menjadi identitasnya. Dia ingin, dengan topi SD, dirinya berbeda dari tukang becak yang lain dan mudah dikenali orang-orang di sekitar.
"Selain sifat kita yang ramah, santun dan jujur, topi SD ini juga jadi pemikat hati para pelanggan," ujarnya polos.
Dari topi ini, banyak orang mengenal Suparmo. Bahkan banyak juga yang berasal dari luar kota. Kalau hendak memesan becak, mereka pasti mencari cari becak 'Pak Parmo topi SD'.
"Di pasar dan satu pelabuhan, orang sudah hafal," akunya sambil mengetik nomor pelanggan di telepon seluler yang sudah pecah, penuh tempelan isolasi dan ikatan karet getah.
Namun, tidak semua orang menaruh rasa simpatik pada lelaki tua ini. Dia juga berulang kali harus merasakan pahit, getir dan kerasnya bekerja di pelabuhan.
Kadang ketika ada pelanggan yang mencarinya, sesama tukang becak kerap mengatakan Suparmo sudah pulang. Padahal dia sendiri berada tidak jauh dari situ.
"Saya juga pernah salah menaruh barang pelanggan ke kapal lain. Saya harus ganti rugi," ujarnya seraya menggelengkan kepala.
Kendatipun demikian, Suparmo tetap menjalani pakerjaan dengan penuh rasa syukur. Dia biasanya dibayar Rp 30 ribu untuk sebungkus barang. Dia malah ikhlas dikasih berapa saja.
Dia tidak mematok harga. Kalaupun dibayar lebih, dia bersyukur; dikasih kurang juga dia tidak menggerutu.
Kasih ambil, tak dikasih sudah, nanti baru ditabung di sini," ujarnya sambil tersenyum menunjukkan plastik transparan pembungkus gula.
Plastik itu sudah beralih fungsi sebagai dompet. Ada sejumlah uang, KTP dan kertas-kertas catatan kecil nan lusuh ada di dalamnya.
Plastik inipun menjadi saksi bisu betapa kerja keras Suparmo telah berhasil menyekolahkan empat anaknya. Bahkan tiga di antaranya sudah menjadi sarjana.
Bersama istri dan anak-anaknya, Suparmo tinggal di jalan Cempedak Kelurahan Kampung Baru, Tanjungpinang. Meskipun hanya menjadi tukang becak dia berprinsip anak-anaknya kelak tidak boleh bernasib sama seperti dirinya.
Acapkali dia malu pada anak-anaknya yang mempunyai ayah tukang becak pelabuhan. Rasa malu itulah mendorongnya mati-matian menyekolahkan mereka menjadi sarjana.
Suparmo tahu betul menjadi tukang becak bukanlah sesuatu yang bisa dia banggakan. Anak-anak kerap menerima ejekan dari kawan-kawannya mengenai pekerjaan ayahnya.
Dia sedih mendengar cerita anaknya tentang ejekan ini. Tetapi itu tidak lalu melunturkan semangatnya bekerja sebagai tukang becak.
Namun, ada lagi yang membuatnya begitu sedih. Dia akhirnya tahu kalau anaknya tidak pernah mengakui pekerjaan ayahnya kepada kawannya.
Dia baru sadar akan hal itu saat calon menantunya datang membawa antaran untuk pernikahan anaknya. Sang menentu terkejut kalau mertuanya itu seorang tukang becak.
"Anak saya tak pernah ceritakan saya ke orang. Mungkin mereka malu," ucapnya sambil tertawa namun mata berkaca-kaca.
Walaupun demikian, tak terselip sekalipun rasa benci ataupun dendam dalam hatinya. Dia mengaku sangat bangga pada anak-anaknya yang telah mempu menyelesaikan bangku kuliah.
"Saya merasa senang dan lega. Anak-anak sudah lulus kuliah, sekarang yang saya ingin Umroh ke tanah suci. Insyaallah kalau ada rezeki," tuturnya dengan suara datar.
Dia lalu duduk termenung dengan tatapan kosong. Sesekali dia memeriksa catatan yang dia punya di atas kardus lusuh bekas kemasan.
Beberapa nomor telepon dan alamat pelanggan tertera di atasnya. Dengan jari telunjuk, dia mengecek daftar barang yang harus dia jemput.(thomm limahekin)
Artikel ini telah tayang di tribunbatam.id dengan judul Tukang Becak Ini Kuliahkan Tiga Anaknya. Tapi Balasan Anaknya Memilukan Hati