Di Kampung Peduli Difabel Ini Ada 23 Disabilitas, Mereka Mahir Membantik
Para penyandang keterbatasan fisik (difabel) di Kabupaten Blitar, kini tak usah minder atau kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, BLITAR - Para penyandang keterbatasan fisik (difabel) di Kabupaten Blitar, kini tak usah minder atau kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Sebab, telah sembilan bulan Dinas Sosil (Dinsos) Pemkab Blitar membuat terobosoan, dengan menyediakan lapangan pekerjaan khususnya buat para penyandang cacat.
Dinsos tak cuma menggajinya, namun juga menampungnya selama mereka belajar membatik.
Yakni, ditempatkan di kampung peduli difabel, yang berlokasi di Desa Resapombo, Kecamatan Doko.
Kampung itu adalah nama sebuah lembaga, yang didirikan Dinsos, pada Desember 2017 lalu. Tujuannya, untuk menampung para penyandang cacat, dengan dilatih ketrampilan, yang utamanya membatik.
Bahkan, batik hasil kampung itu sudah tak usah dipasarkan lagi karena sudah ada pembelinya, mulai dari Jakarta, Batam, Sulawesi, dan Surabaya. Kok bisa? Itu karena dipasarkan oleh Dinsos, dengan tranding mark, Batik Percik Rombo.
Itu artinya, batik buatan para difabel di Desa Resapombo. Harganya Rp 150.000 per potong atau per ukuran baju orang dewasa.
"Untuk pemasarannya nggak usah khawatir karena batik hasil para difabel ini sudah sangat diminati di luar jawa," kata Kadinsos Kabupaten Blitar Drs Romelan, Rabu (31/10/2018).
Untuk mencari kampung peduli difabel, tak sulit karena hanya berjarak sekitar 9 km dari Terminal Kesamben. Tepatnya, berada di belakang Pasar Nyawangan atau di belakang Balai Desa Resapombo.
Terdapat 23 penyandang disabilitas tinggal di situ. Mereka lagi sibuk. Ada yang lagi belajar, namun ada yang sudah mahir membatik.
Tak membedakan usia atau jenis kelamin, yang penting mereka punya semangat belajar dan bekerja.
Soal keterbatasan fisik, tak jadi masalah. Karena itu, dari 23 difabel itu, mereka mengalami berbagai keterbasan fisik yang berlainan. Mulai tunadaksa (seperti lumpuh, polio), tuna rungu, dan tunawicara.
Siapa pun, yang masuk ke tempat itu pasti akan kaget karena mereka rata-rata terlihat cukup terampil membatik. Bahkan, tak terlihat kalau mereka itu mengalami keterbasan fisik karena tertutupi keahliannya.
Seperti Arifudin (38), penderita sulit bicara karena cacat fisik pada mulutnya itu, terlihat sangat terampil ketika menyiratkan pewarna pada kain yang akan dibatik.