Ahmad Tohari Yakin Semua Orang Bisa Menjadi Sastrawan Asal Mau Berproses, Ini Tips darinya
"Semua orang bisa menjadi sastrawan, asal mau berproses," kalimat itulah yang pertama diucapkan Ahmad Tohari dihadapan ratusan mahasiswa
Editor: Sugiyarto
Laporan Reporter Tribun Jateng, Rival Almanaf
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - "Semua orang bisa menjadi sastrawan, asal mau berproses," kalimat itulah yang pertama diucapkan Ahmad Tohari dihadapan ratusan mahasiswa yang menghadiri Peluncuran Majalah Sastra Soeket Teki dan Dialog Sastra di Aula 1 Kampus 1 UIN Walisongo Semarang, Kamis (6/11/2018).
Penulis Ronggeng Dukuh Paruk itu ingin meyakinkan kepada seluruh orang yang datang bahwa siapapun bisa melahirkan karya sastra baik itu dalam bentuk novel, cerpen atau naskah lakon.
Lalu ia menjabarkan proses seperti apa yang seharusnya dilakukan.
Seluruh audien tampak cermat mendengarkan tips yang dibeberkan pria yang juga sempat menjadi seorang jurnalis itu.
Mereka seolah ingin mengikuti jejak pria 71 tahun yang telah melahirkan puluhan karya cerita fiksi.
"Nah berproses itu dimulai dari mana? Dimulai dari menyadari bahwa sastra itu penting. Penting untuk bangsa, untuk peradaban untuk kehidupan sosial. Bangsa yang kurang bersastra ya seperti kita ini," ucapnya sembari berdiri di atas panggung.
Usianya yang sudah kepala tujuh tidak menghalanginya untuk berdiri sembari berbicara.
Meski panitia menyediakan sofa empuk namun ia terlihat ingin menghargai para mahasiswa agar cermat mendengar 'petuahnya'.
"Setelah sadar bahwa sastra itu penting mulailah membaca. Ini yang saya khawatirkan karena anak muda sekarang malas membaca ya, kalau malas membaca harapannya kecil," terangnya.
Ia meyakinkan seorang penulis yang baik adalah seorang pembaca yang baik.
Semakin banyak bahan yang dibaca akan semakin mempengaruhi tulisan seseorang.
Proses selanjutnya yang ia sarankan adalah dengan menambah bacaan, berdiskusi dan terus menerus menulis.
"Ketika sudah menghasilkan sebuah karya jangan berpuas diri, itu racun! Kalau sudah puas dan menjadi narsis tinggal menunggu menjadi fosil," pesannya.
Iapun menyebut masa depan kesusastraan di Indonesia tidak terlalu memprihatinkan.
Dari pengamatannya saat ini banyak penulis-penulis muda bermunculan, hanya memang trennya berbeda dengan masa ia masih aktif berkarya.
"Jika dahulu menurutnya karya sastra picisan menjadi minoritas. Sementara novel-novel serius mayoritas, sekarang trennya terbalik tidak ada yang salah," ucapnya.
Meski demikian menurutnya sebuah karya sastra seharusnya memiliki peran kepedulian terhadap lingkungan sosial.
Tidak melulu harus berkiblat dengan selera pasar.
Hal itu sesuai prinsipnya bahwa karya sastra harus mempertinggi peradaban manusia dan bertanggung jawab pada peningkatan moral.
Salah satu mahasiswi, Anisa Alfarohmatin tampak tertarik dengan materi yang dibicarakan oleh pria yang karyanya telah dialih bahasakan ke berbagai penjuru dunia tersebut.
"Cukup menarik karena saya juga gemar menulis cerita fiksi. Namun saya juga ingin tahu bagaimana gaya penulisan yang baik, yang mengakomodir generasi saat ini namun juga punya pesan moral yang tidak menggurui," ucapnya.
Menanggapi pertanyaan itu Ahmad Tohari memberi jawaban yang mengejutkan. Ia tidak ingin para penulis muda saat ini mengikuti gaya bahasanya.
"Kalau bikin karya sastra silakan pilih sesuai selera mu, sesuai gaya mu, jangan yang masa lalu. Saya ndak gunakan gaya bahasa Buya Hamka."
"Gaya saya masih konvensional realisme sekarang mulai ditinggalkan. Kini kebanyakan menggunakan gaya bahasa post modernisme," ucapnya.
Tidak lupa iapun mengapresiasi peluncuran majalah sastra Soeket Teki dan Kumpulan Cerpen Dialog Rajam.
Pasalnya dalam dua wadah itu para mahasiswa berkarya dengan membuat cerpen atau puisi.
"Terus membaca, diskusi, lalu menulis, di usia kalian 20an masih sangat dini untuk bisa menjadi sastrawan. Kalau sudah seperti saya 71 sudah banyak hambatan berlama-lama menatap layar monitor pusing, menulis malam harus sering kencing," pesannya.(*)