Penangkapan Mafia Lahan Tol Medan-Binjai, Pakar Hukum: Tak Ada Grant Sultan di Tanah Konsesi
Saidin pernah terbang ke Belanda untuk melakukan penelitian tanah Kesultanan Deli bersama Edy pada 2005 lalu
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, MEDAN -- Soal Pembebasan lahan di Binjai, Sumatera Utara, Ahli Hukum Tanah Adat dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Edy Ikhsan memberikan pernyataan.
Tidak satu pun pelepasan tanah yang berada pada proyek pembangunan Tol Binjai hingga Helvetia berdasar grant sultan.
Jika ada tanah berdasar grant sultan di daerah tersebut, maka dapat dipastikan palsu.
"Pelepasan tanah dari Binjai-Helvetia berdasar pengetahuan hukum dan data-data yang saya miliki, hampir tidak boleh di daerah itu memiliki grant sultan. Pada zaman kolonial, tidak ada grant, karena di daerah itu tanah konsesi perkebunan tembakau," kata Edy saat dihubungi melalui sambungan teleponkepada Tribun Medan, Rabu (26/12/2018)..
Tanah konsesi merupakan perjanjian jangka panjang selama 75 tahun, yang dibuat Sultan Deli dengan pengusaha-pengusaha asing zaman dahulu. Karena itu, Edy yakin, sudah dapat dipastikan grant sultan diberikan kepada perseorangan. Sementara, konsesi diberikan kepada perusahaan.
Baca: Mafia Lahan Tol Medan-Binjai Diduga Palsukan Grant Sultan Minta Rp 321 M untuk Pelepasan Tanah
"Di atas tanah konsesi yang sudah diberikan hak konsensi, tidak akan ada yang namanya grand sultan. Saya bersedia dipanggil ke pengadilan untuk menjelaskan hal ini menjelaskan berdasarkan data. Saya bisa kasih tunjuk di daerah-daerah mana saja yang boleh ada grant sultan," ujarnya.
Terungkapnya mafia tanah pada proyek Tol Medan-Binjai berdasar penyelidikan Ditreskrimum Polda Sumut, yang menetapkan empat tersangka, yakni Afrizon yang berprofesi sebagai pengacara, Tengku Awaluddin, Tengku Azan Khan, dan Tengku Isywari yang berperan sebagai ahli waris.
Modusnya, Afrizon nekat memalsukan grant sultan dan seolah-olah surat tersebut dikeluarkan BPN Sumut.
"Fungsi BPN sudah betul melakukan verifikasi benar tidaknya sebuah dokumen hak atas tanah. Termasuk grant sultan yang merupakan salah satu surat tanah yang diberikan Sultan Deli pada masa kolonial," ujarnya.
Edy menjelaskan, setelah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria dikeluarkan, ada kewajiban agar seluruh pemegang hak termasuk grant sultan dikonversi menjadi sertifikat hak milik (SHM).
"Tapi, ada peraturan BPN yang mengatakan bahwa tidak ada batas waktu untuk mengonversi. Jadi, ketika terlambat memasukkan konversi masih bisa diterima," katanya.
Seluruh pencatatan berkaitan grand sultan, imbuh Edy, di dalam buku besar milik BPN secara jelas tertera seluruh data-data grant sultan mulai nomor pertama dan terakhir.
"Jadi kalau ada oknum yang melakukan pemalsuan dokumen, sudah jelas mengandung unsur pidana. Walaupun nantinya harus ada pembuktian di pengadilan," katanya.
Ganti Rugi Harus Jelas