Irjen Pol Paulus Waterpauw: Papua dan Papua Barat Kondusif
Kondisi Papua dan Papua Barat pasca terjadinya aksi anarkis massa di sejumlah kota kini semakin kondusif.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAYAPURA - Kondisi Papua dan Papua Barat pasca terjadinya aksi anarkis massa di sejumlah kota, menyikapi dugaan tindakan rasis yang di alami mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang Jawa Timur, semakin kondusif.
Hal itu dikatakan Irjen Pol Paulus Waterpauw saat ditemui Sabtu (24/8/2019) malam di Kota Jayapura.
"Hari ini kondisi Papua dan Papua Barat aman kondusif tenang dan terkendali," ujar Paulus Waterpauw.
Kata Waterpauw, dirinya yang diutus Mabes Polri sebagai mediator sekaligus fasilitator antara pemerintah dan seluruh komponen masyarakat yang ada di Tanah Papua, terus membangun komunikasi dengan semua pihak.
Baca: Aris Sedih Ayahnya Jadi Korban Terbakarnya KM Santika Nusantara Tepat di Hari Kelahiran Cucu Pertama
"Kami terus bangun komunikasi, agar semua pihak melihat permasalahan yang terjadi secara jernih dan murni," ujarnya.
Negara sangat peduli dengan permasalahan ini dan diharapkan secepatnya tuntas.
"Sekarang persoalan ini langsung diatasi negara dengan mengutus Menkopolhukam, Kapolri dan Panglima TNI ke Papua Barat, sehingga masyarakat dapat langsung menyampaikan pesan-pesannya kepada presiden," ujar dia.
Untuk itu, semua pihak sebaiknya bersabar dengan langkah-langkah yang sudah dijalankan.
"Harapannya semua tetap sabar, tenang dan saling mengalah satu dengan yang lain dama menyikapi persoalan yang sudah terjadi," ucapnya.
Ia juga mengungkapkan, kasus dugaan rasis yang menimpa mahasiswa Papua di Surabaya sedang ditangani oleh Polda Jawa Timur dan Polrestabes Surabaya.
"Masalah Surabaya sedang ditangani, dan Kapolri akan menindak tegas pelaku yang mengarah ke rasis itu. Sejumlah pihak yang diduga memperkusi penghuni asrama Papua Jalan Kalasan Surabaya juga sedang dimintai keterangan oleh penyidik," tandasnya.
Dari hasil identifikasi, ada kesan Asrama Papua di Jalan Kalasan diserang, padahal sebenarnya tidak.
Inilah diminta kepada semua pihak untuk melihat persoalan ini dengan jernih.
"Saya mau katakan, kita harus tahu proses, ketika ada dugaan tentang bendera simbol negara dipatahkan dan dibuang di jalan, itu sebenarnya mesti diselidiki siapa pelakunya. Yang terdekat ke TKP kan asrama sehingga diperlukan kerja sama untuk mengetahuinya," kata Paulus Waterpauw.
"Ini proses, jadi sebenarnya adek-adek penghuni asrama tidak usah alergi atau kuatir dengan para pihak disitu, kalau ada yang menuding belum tentu benar, sebaiknya kooperatif, sama-sama selidiki buktikan siapa yang merusak, kan mestinya begitu," tandasnya.
Ketika kelompok massa atau warga berteriak dan menyalahkan penghuni asrama, Polisi hadir menjaga.
"Polisi kan penengah, ketika pada puncaknya, kan mereka harus dilindungi diselamatkan juga harus bersedia dimintai keterangan untuk klarifikasi, untuk kepentingan objek di lapangan, dan Polisi punya kewenangan untuk hal itu. Ada kewenangan Polisi tapi kalau tidak bisa dengan toleransi mengajak dengan baik-baik untuk kooperatif ada lngkah terpaksa," imbuhnya.
Seperti halnya yang terjadi di Malang, ketika melakukan aksi demo lalu memblokir jalan, jelas mengganggu pengguna jalan.
Lantas pengguna jalan protes dan terlibat cekcok dan berakhir bentrok, lalu Polisi datang, untuk mengamankan, itu tugas Polisi.
"Kalau Polisi tidak amankan mungkin banyak korban, apalagi jumlah pendemo dan warga tak seimbang," paparnya.
Jadi menurut Waterpauw, kalau ada kata-kata rasis itu ada prosesnya, tidak langsung mengutuk, menghina martabat atau harga diri. Harus dilihat secara seksama tentang latar belakangnya.
"Ada komunikasi yang tersumbat dan itu bukan terjadi 1-2 hari saja namun sudah berkepanjangan," ujar dia.
Jadi, kedepan, pemerintah daerah yang mengirim warganya study ke luar Papua harus memberikan pendampingan. Jangan dibiarkan tanpa arahan yang jelas.
"Agar mereka bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, serta bisa menjaga kebhinekaan," harapnya.