Cerita Wanita Panggilan yang TKB Manado, Pegang Botol dengan Pandangan Liar Tunggu 'Orderan'
Banyak fakta pun terungkap dari pengakuan mereka. Seperti dari pengakuan seorang pekerja dunia malam bernama Indi.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM -- Berbicara soal Taman Kesatuan Bangsa (TKB) bagi warga Manado dan sekitarnya pasti ada yang menjawab soal lokasi yang sering dijadikan tempat transaksi prostitusi ilegal.
Ya memang bagi warga Kawanua, fungsi lain dari taman itu sudah jadi rahasia umum.
TKB yang berada di Jalan Dotulolong Lasut, Pinaesaan, Kec. Wenang, Kota Manado, Sulawesi Utara (Sulut), itu sudah banyak yang tahu kerap dijadikan lokasi transaksi prostitusi.
Beberapa waktu lalu, para kerja dunia malam yang mangkal di TKB itupun sempat diwawancari oleh Tribunmanado.co.id
Banyak fakta pun terungkap dari pengakuan mereka. Seperti dari pengakuan seorang pekerja dunia malam bernama Indi.
Indi tentunya bukan nama sebenarnya.
Kala diwawancari di pertengahan 2018 lalu, ia berusia 20 tahun.
Baca: Radio Nelayan Ganggu Penerbangan Internasional, Pengamat: Bagaimana Bisa?
Baca: Tes Kecermatan - Temukan 5 Kata Tersembunyi dalam Gambar Ini!
Baca: Konsolidasi BEM Se-Jawa Barat Hasilkan Sejumlah Kesepakatan
Baca: Terjaring OTT KPK, Berikut Daftar Harta Kekayaan Bupati Lampung Utara, Tercatat Tak Punya Utang
Awal perbicangan, wanita panggilan ini tampak cuek.
Mengenakan celana ketat coklat dan kaus tangan panjang bergaris, ia mengarungi kehidupan malam itu.
Bibirnya merona, alis tampak bergaris dengan rapi.
Ia memegang botol kecil minyak yang sesekali dicium.
Pandangan matanya liar.
Melihat ke mana-mana, memerhatikan sekeliling TKB.
Seperti sedang mencari sesuatu.
Beberapa lelaki menyapa, ia membalas dengan senyum simpul.
Saat tribunmanado.co.id menyapa, ia seketika berhenti.
Ia mengambil tempat duduk di TKB. Pernah bertemu Indi dan sekawanannya akhir Februari 2018 di Tugu Lilin, kawasan Marina Plaza Manado.
Dengan polos Indi mengaku sedang mencari tamu, saat tribunmanado.co.id, menanyakan sedang apa dia di TKB.
Ya, dia mengaku menjadi seorang wanita panggilan yang biasanya mangkal di TKB dan sekitaran Pasar 45 Manado.
Kegiatan yang rutin ia lakukan setiap malam. Semalam bisa dapat Rp 200 ribu.
Indi mulai mencari tamu pukul 19.00 hingga tengah malam.
Tak tentu sampai pukul berapa.
"Kalau sudah ada, saya langsung berkumpul dengan teman-teman. Kalau tidak, tunggu sampai tengah malam," ucap Indi polos.
Tak setiap malam Indi mendapat tamu, kadang meski telah dandan, tak ada sepeserpun rupiah yang masuk ke kantong. Bayarannya kadang Rp 100 ribu, kadang pula Rp 200 ribu.
Indi terpaksa jadi PSK untuk makan, demikian pengakuannnya. Bukan ia yang memegang uang, tapi pacarnya.
Buat ongkos hidup ia dan pacarnya di Kota Manado.
Indi tak ingat jelas kapan keluar dari rumah.
Ia berasal dari Tondano, Minahasa. Sebulan sekali pulang untuk menjenguk ibu dan enam saudaranya.
Indi tujuh bersaudara.
Indi adalah anggota kelompok anak gelandangan yang menamakan diri Amitater.
Atau singkatan dari anak miskin tapi terdidik.
Entah kenapa kelompok yang beranggotakan 20 orang ini menamakan diri Amitater, padahal rata-rata dari mereka putus sekolah.
Sehari-harinya, anak-anak ini hanya tidur di emperan toko di kawasan Pasar 45.
Mereka pergi ke Jarod (tempat ngopi) jika ingin buang air dan mandi.
Jika waktu telah siang, mereka mulai berkumpul di Tugu Lilin hingga tengah malam.
Setiap hari dengan rutinitas yang sama.
Akhir Februari 2018, tribunmanado.co.id, bertemu dengan Titin, seorang anggota kelompok ini di Tugu Lilin.
Ia tampak pucat, tak sanggup berjalan cepat.
Sambil menahan sakit, ia berjalan memegang pinggangnya.
Titin (27) rupanya baru keluar rumah sakit, karena keguguran.
Baru keluar siang itu. Saat itu kelompok ini menjalankan kartu sumbangan untuk membayar biaya rumah sakit.
Titin tak punya kartu tanda penduduk (KTP), apalagi BPJS Kesehatan.
Ia dan pacarnya, yang juga anggota kelompok tak punya uang untuk bayar rumah sakit di RSUP Kandou Malalayang.
Titin dan pacarnya belum menikah, tapi terlanjur hamil, namun pada akhirnya keguguran.
Titin memperlihatkan tagihan rumah sakit sebesar Rp 515 ribu.
Atas dasar satu rasa, satu hati, anggota kelompok ini menjalankan kartu sumbangan demi memenuhi tagihan rumah sakit.
Namun Titin tak bisa menjelaskan kenapa ia sudah keluar rumah sakit, sementara tagihan belum bayar.
Dan ia pun masih terengah-engah berjalan.
"Katanya pacar saya akan ditahan, kalau belum bayar," ujar dia waktu itu.
Titin adalah warga Poigar, Minahasa Selatan.
Sudah beberapa bulan terakhir ia jadi anggota kelompok dan hanya tidur di emperan toko di Pasar 45.
Ia rela meninggalkan keluarganya demi hidup di Manado bersama kelompok ini.
"Dia sudah baikan tapi masih pemulihan kondisi," ujar Indi saat tribunmanado.co.id menanyakan kondisi Titin sekarang.
Opo, pemimpin kelompok Amitater mengatakan sudah beberapa waktu ia mengumpulkan anggotanya Amitater.
Anggota kelompok ini datang dari berbagai daerah seperti Minahasa, Bolmong, Bitung dan daerah lainnya.
Opo mengaku menerima siapa saja yang mau bergabung dengan kelompok mereka.
Opo mengaku adalah korban kapal pamboat yang hilang, lalu akhirnya berhasil diselamatkan.
Ia memutuskan tak lagi melaut, dan hidup bergelandangan di Manado.
Beberapa dari anggota kelompok laki-laki mengaku menjadi tukang parkir untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Biasanya jadi tukang di Pasar 45. Mereka sering berkumpul berkelompok di Tugu Lilin.
Sementara dari penelusuran tribunmanado.co.id, pada malam hari para anggota kelompok perempuan menjadi PSK, seperti Indi.
Uang yang didapat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam kelompok ini rata-rata saling berpasangan.
Sementara itu, pantauan Tribunmanado.co.id, Minggu (06/10/2019) malam, banyak aktivitas masyarakat di sekitar area taman tersebut.
Ada yang berjualan di toko-toko, pedagang kaki lima sampai ramainya lalu lalang angkot biru (mikro) dengan musik kerasnya menambah riuh suasana taman di pusat Kota Tinutuan itu.
Terpantau, di malam hari, lokasi ini menjadi tempat mangkal pekerja seks komersial (PSK) atau lokasi prostitusi ilegal.
Seorang tukang arloji yang ditemui Tribunmanado.co.id seolah eggan berkomentar terkait prostitusi tersebut.
Baca: TKB Manado saat Malam Hari Jadi Lokasi Prostitusi Ilegal, Ini Tanggapan Pedagang Sekitar
"Tanya yang lain aja mas," ucap pria yang memakai topi hitam itu mencoba menyudahi pembicaraan, Minggu (06/10/2019).
Tribunmanado.co.id pun coba menanyakan ke pedagang lain.
Sampailah di tempat jualan sepatu.
"Saya baru mas jadi karyawan sini dan saya kurang tahu tentang transaksi prostitusi di TKB," ujar pria asal Gorontalo itu, Minggu (6/10/2019).
Ia menambahkan, tidak masalah tentang hal itu asalkan tidak saling mengganggu.
Narasumber lain membenarkan soal fungsi lain soal TKB.
"Kalau saya tahu mas tentang transaksi prostitusi di sini, namun tidak masalah asalkan tidak mengganggu saya berjualan," kata pedagang bakso yang berjualan dari sore hingga sekira pukul 10.00 Wita itu, Minggu (06/10/2019).
Penjaja bakso asal Jawa itu menambahkan, dari malam habis isya itu sudah ada.
Bahkan semakin malam semakin ramai dengan aktivitas transaksi itu dan sampai lewat tengah malam masih ramai di TKB.
Prostitusi yang sudah berjalan lama di kawasan Taman Kesatuan Bangsa (TKB) Kota Manado rupanya tidak banyak mengganggu warga sekitar.
Salah satunya Aris, pedagang bakso di pinggir TKB merasa tidak ada masalah dengan hal tersebut.
"Yang penting tidak merugikan jualan saya," ujar pedagang asal Pemalang ini.
Ia mengaku tak pernah diganggu oleh penyedia jasa maupun pelanggan.
"Orang di sini baik-baik, toleransinya tinggi jadi saya pun tidak mau mengganggu," tambahnya.
Menurut penuturan Aris, pada saat siang dan sore haripun ada Satpol PP yang membantu menertibkan lingkungan.
TKB memang dikenal prostitusinya yang sudah beroperasi sejak lama.
Meski begitu, rupanya tidak semua masyarakat terganggu dengan hal tersebut. (Tribunmanado.co.id/Ind/Nga/Fit/Fin)
Artikel ini telah tayang di tribunmanado.co.id dengan judul KISAH Indi, Gadis Panggilan yang Mangkal di TKB, Pegang Botol dengan Pandangan Liar Cari Pelanggan,