Kisah 'Jojo' Suparjo Relawan Pengajar yang Rela Tak Dibayar Saat Mengajar
Relawan tak dibayar karena sebenarnya telah memiliki pekerjaan lain dan menganggap mendidik generasai muda sebagai pengabdian.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM -- Ini bukan kisah sedih para guru honorer yang digaji seadanya oleh pemerintah.
Tapi ini adalah kisah seorang relawan pengajar diantara relawan lainnya yang sama sekali tak dibayar.
Relawan tak dibayar karena sebenarnya telah memiliki pekerjaan lain dan menganggap mendidik generasai muda sebagai pengabdian.
Salah satunya adalah Suparjo alias Jojo lelaki asal Sragi, Pekalongan, Jawa Tengah.
Ia pun menceritakan awal mula menjadi relawan pengajar.
Berawal dari suatu kegelisahan terhadap diri dalam hidup yang monoton karena menjalankan rutinitas kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan menjalankan rutinitas maka mulai timbul kebosanan.
Lelaki kelahiran 26 Ferbruari 1976 itu merasa setiap hari bangun pagi pergi ke kantor kerja seharian pulang sore kadang hingga larut malam membuat dirinya seperti robot.
Bersama sejumlah rekannya ia mendirikan Rumah Belajar Dadi Rukun di Depok, dengan kegiatan berupa kelas-kelas yang diselenggarakan tiap Sabtu sore bersama sejumlah relawan lainnya yaitu Roi yang mengajar seni lukis yang pekerjaan sebenarnya adalah pengajar seni lukis untuk para expatriate,
Andre (pengusaha katering) yang mengajar bahasa Jepang, Rusdi seorang lawyer yang mengajar mengajar etika dan norma hukum dan Taryani anggota TNI yang mengajar kelas pemimpin muda.
Tak hanya itu, di kampungnya ia juga mendirikan komunitas bahasa Inggris dengan nama SEC - Sragi English Community untuk mengajarkan bahasa Inggris untuk umum di Kec. Sragi, Kabupaten Pekalongan, bersama rekan Alumni SMP N 1 Sragi.
"Bersama teman-teman Alumni SMA N 1 Comal saya menginisiasi pendirian SMANCO INSTITUTE dimana program SMANCO INSTITUTE memberikan pengajaran bahasa Inggris ke adik-adik kelas dan program kolaborasi dengan Pojok Baca Omah Lintang berupa English For Kids yang berlokasi di Comal, Pemalang, Jawa Tengah," kata Jojo.
Kegiatan tersebut dilakukannya pada saat kegiatan utamanya sebagai frelance IT sedang senggang.
Hal itu dilakukan karena ia memang merasa bosan dengan kegiatan yang itu-itu aja.
Terbesit dalam hati pertanyaan yang sangat menggelitik apakah iya akan selamanya hidup seperti ini hanya mengejar kebutuhan saja tanpa ada manfaat untuk sesama?
Ia terinspirasi dengan kalimat yang ditulis oleh Baden Powell pendiri Pramuka dunia dalam bukunya yang berjudul "Scouting For Boys" yang berbunyi kurang lebih begini "... Mengejar karir hingga sampai mendapatkan penghasilan tinggi dan terus mengejar hingga mendapatkan penghasilan yang tinggi lagi sangat berbahaya.
Oleh karena itu harus diimbangi dengan pengabdian yang mana di dalam pengabdian itu ada fitrah manusia yaitu suka memberi baik berupa materi atau pun non materi. Para pengabdi selalu tulus melayani untuk memberikan yang terbaik.
Berangkat dari hal itu Jojo jadi merenung setiap melakukan aktivitas kerja selalu gelisah dan mencari ladang apa yang cocok untuk mengabdi melalui pencarian di Google, karena ada beberapa ragam tentang pengabdian seperti charity, fasilitator, advokasi dan edukasi.
"Dari ragam pengabdian tadi saya mulai menyesuaikan dengan kemampuan yang saya miliki, mana yang lebih cocok diantara sekian banyak ragam pengabdian yang kira-kira bisa saya lakukan," katanya kepada Tribunnews.com, Senin (25/11/2019).
Kemudian ia mulai mengukur diri sendiri dengan melihat masa lalunya tentang kesukaan yang ia lakukan.
Setelah melalui tahapan perenungan ayah 4 anak ini merasa cocok mengambil ragam edukasi.
"Tahun 2006 akhir saya memutuskan membuka bimbingan belajar bahasa Inggris secara cuma-cuma di rumah kontrakan bilangan pasar minggu Jakarta Selatan," kenangnya.
Alhasil diikuti adik-adik yang tinggal di sekitar rumah yang dikontraknya. Sekitar 30 adik-adik dari SD kelas 4, 5 dan 6.
Kegiatan itu dilakukan disamping pekerjaannya sebagai freelance IT
Lalu pada 2 Oktober 2018 mencoba ikut seleksi melalui open recruitment yang diselenggarakan oleh Turun Tangan Jakarta yang saat itu membutuhkan relawan pengajar.
Singkat cerita Jojo diterima dan mendapat tugas mengajar bahasa Inggris di Yayasan Amal Abadi Bea Siswa ORBIT Hasri Ainun Habibie.
Tahun 2019 dikirim ke lokasi bencana di Palu untuk mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak di Palu bersama relawan Turun Tangan se-Indonesia dalam program trauma healing.
"Sejauh ini siswa yang saya ajar bareng teman-teman relawan lainnya tidak dipungut biaya. Bahkan oleh masyarakat lingkungan sekitar malah memberi dukungan dengan menyediakan kue alakadarnya untuk anak-anak," ujarnya.
Meskipun tak dibayar, mereka merasa senang karena masyarakat merasa senang dan mendapatkan ilmu dengan kehadiran mereka. Dan yang penting, jelasnya, masyarakat terus memberi dukungan.
"Ada rasa haru, bangga dan campur aduk yang saya rasakan.
Saya merasa bahwa pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama," tambah Jojo.
Baginya, bergerak turun tangan dengan kemampuan yang kita bisa akan lebih baik dari pada hanya diam berpangku tangan.
"Kami tidak mendapatkan gaji melakukan seperti ini karena kami semua relawan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup kami melakukan pekerjaan lain sesuai bidangnya masing-masing," jelasnya.
Harapannya apa yang ia lakukan agar bermanfaat. Karena prinsip yang dilakukan tidak mengajak siapa pun, tapi yang kami lakukan adalah menginfluence melalui penyebaran virus-virus kebaikan.
Jojo sdendiri mengaku berlatar belakang Teknik Informatika, bukan dari background keguruan yaitu Universitas Thamrin.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.