Viral Kucing Digantung di Pohon, Psikolog: Pelaku Berpotensi Lakukan Kekerasan pada Sesama Manusia
Viral, kucing di Bali digantung di pohon. Psikolog sebut pelaku punya potensi yang sama untuk melakukan kekerasan pada sesama manusia.
Penulis: Widyadewi Metta Adya Irani
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
TRIBUNNEWS.COM - Viral sebuah unggahan di Facebook yang menampilkan foto seekor kucing berwarna putih sedang digantung di sebuah pohon.
Foto tersebut dikirim oleh akun Facebook Dewa Candra ke sebuah grup Facebook Komunitas Merpati Karangasem (KMK), pada Sabtu (14/12/2019) lalu.
Dilansir Kompas.com, dalam unggahannya Dewa Candra mengungkapkan kekesalannya pada kucing yang telah memakan sembilan merpatinya itu.
"Ini ternyata yang memakan burung merpati saya pantesan terus hilang tanpa jejak, 9 ekor makan merpati. Sudah sejak seminggu saya intai," tulis Dewa Candra, dalam bahasa Bali.
Unggahan tersebut pun menuai kecaman warga Bali.
Sebuah akun Facebook Denpasar Viral turut mengecam aksi tersebut.
Bukannya tidak boleh membunuh kucing dalam kepercayaan Hindu?
Teman saya yg tidak sengaja menabrak kucing saja sampai membuatkan upacara Ngaben untuk kucingnya karena takut karma buruk akan menimpanya.
Bapak tidak takut karma ya pak???
Lupa pak dengan ajarannya????
Kucing berburu karena menjalankan instingnya sebagai makhluk hidup, insting itu Tuhan yg memberikan bukan kemauan dia pak!
Begitu tulis akun Facebook Denpasar Viral saat mengunggah tangkapan layar unggahan Dewa Candra pada Minggu (15/12/2019).
Tanggapan Psikolog
Psikolog dari Yayasan Praktek Psikolog Indonesia, Adib Setiawan, S.Psi., M.Psi., memberikan tanggapannya terkait kasus ini.
Menurut Adib, perilaku pelaku tersebut disebabkan oleh adanya dendam.
Secara umum, Adib menuturkan, orang-orang yang memiliki kecenderungan menyiksa hewan menyimpan dendam yang kemudian dilampiaskan pada hewan di sekitarnya.
"Kemungkinan, orang-orang seperti pelaku itu dalam kondisi tertutup lalu butuh hiburan," kata Psikolog Adib, saat dihubungi Tribunnews.com pada Rabu (18/12/2019).
"Barangkali dia punya dendam dengan teman atau saudaranya, sehingga dendamnya itu dilampiaskan terhadap hewan," sambungnya.
Adib menuturkan, pelaku yang melakukan kekerasan pada hewan berpotensi melakukan kekerasan pada sesama manusia.
"Bisa (melakukan kekerasan ke manusia)," ujar Adib.
"Seseorang yang melakukan kekerasan pada hewan memiliki potensi yang sama melakukan kekerasan terhadap sesama manusia," terangnya.
Menurut psikolog dari praktekpsikolog.com ini, perlu diadakan kampanye gerakan menyayangi hewan untuk meminimalisir tindak kekerasan ini.
Adib menyampaikan, pelaku kekerasan pada hewan perlu mendapat wawasan tentang kebermanfaatan hewan di dunia.
Setidaknya, Adib menuturkan, orang-orang yang tidak begitu menyukai hewan tidak lantas menyiksanya.
"Sebaiknya, pelaku itu mendapatkan wawasan tentang kasih sayang terhadap binatang gitu, bahwa binatang kucing itu kan sebenarnya dia juga bisa memakan tikus, sementara tikus kadangkala bisa membuat kotor rumah misalnya," terang Adib.
"Jadi pasti binatang pun ada manfaatnya di dunia ini, jadi jangan semena-mena seperti itu," tegasnya.
Selanjutnya, Adib pun mendukung penegakan hukum terkait kekerasan pada hewan.
Adib pun mendukung pelaku tindakan kekerasan pada hewan dihukum dengan hukuman penjara.
"Hukum tersebut juga perlu disosialisasikan karena kalau orang mengira tidak ada hukumnya berarti dibolehkan," tutur Adib.
Adib menyampaikan, tindakan penganiayaan terhadap hewan biasanya dipengaruhi oleh lingkungan.
Selain itu, tindakan tersebut juga mungkin terjadi apabila seseorang memiliki pengetahuan yang masih kurang.
"Biasanya orang yang melakukan kekerasan pada binatang itu karena pengetahuannya kurang, dia berada di lingkungan yang cenderung keras dan kasar, sehingga binatang menjadi mainan," kata Adib.
Adib menambahkan, perilaku seperti itu juga disebabkan kurangnya rasa kasih sayang terhadap binatang.
Tidak hanya itu, kurangnya pemahaman terhadap kajian-kajian terkait ajaran agama juga disebut Adib sebagai faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan tindakan kekerasan pada hewan.
"Dia (pelaku kekerasan terhadap hewan) jarang memahami berbagai kajian yang terkait dengan misalnya, ilmu-ilmu di bidang agama lain atau agama yang dia anut, dia jarang belajar itu," tuturnya.
"Tentunya toleransi dan rasa menghargainya kurang," sambung Adib.
Pelaku Telah Dilaporkan
Atas kejadian ini, Bali Animal Defender bersama Bali Cat Lovers melaporkan akun Facebook Dewa Candra pada Senin (16/12/2019).
Hal itu disampaikan langsung melalui akun Facebook resmi Bali Animal Defender pada Senin lalu.
"Hari ini bersama ketua bali cat lover mendatangi polda bali untuk melaporkan kasus penyiksaan kucing oleh pemilik akun inisial DC," tulis Bali Animal Defender dalam unggahan Facebooknya.
Bali Animal Defender, melaporkan kasus ini berdasarkan penegakan hukum dan kesejahteraan hewan yang diatur dalam pasal 302 KUHP serta perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang diatur dalam pasal 66 A ayat 1 dan pasal 91B.
Sebagai aktivis pemerhati hewan, Bali Animal Defender berharap hukum bagi kasus kekerasan pada hewan dapat ditegakkan.
"Saatnya penegakan hukum akan kekerasan, penyiksaan, dan penelantaran hewan bisa dimaksimalkan," tulis Bali Animal Defender mengakhiri pernyataannya di Facebook.
Dilansir dari Kompas.com, Ketua Bali Animal Defender, Joviana Immanuel Calvary mengatakan, tercatat 19 kasus penyiksaan terhadap hewan yang terjadi sepanjang tahun 2019, di Bali.
Dari angka tersebut, delapan kasus sudah P21 atau rampung.
"Sisanya penyelidikan," katanya.
Kasus penganiayaan tersebut kebanyakan dilakukan terhadap anjing.
Menurutnya, terdapat anjing yang ditembak, dipukul menggunakan palu, disiksa di kandang sempit, dan dibunuh perlahan.
"Macam-macam alasan, ada yang bilang nakal, ia hukum anjingnya hingga mati," tutur Joviana.
"Ini semua di Bali, meliputi Karangasem, Bangli, Gianyar," sambungnya.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Viral Kucing Disiksa dengan Digantung di Bali, Pengunggah Foto Dipolisikan"
(Tribunnews.com/Widyadewi Metta) (Kompas.com/Kontributor Bali, Imam Rosidin)