Kata Dedi Mulyadi soal Kemunculan Sunda Empire: Penyakit Sosial dan Akut
Dedi menyebut, fenomena itu merupakan problem sosial yang sudah akut dan berlangsung sejak lama
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Kemunculan Keraton Agung Sejagat maupun Sunda Empire yang sempat menjdi perbincangan publik direspon oleh budayawan asal Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
Menurut Dedi Mulyadi, munculnya orang-orang yang mengaku punya kerajaan dan bangga dengan seragam ala militer merupakan penyakit sosial yang sudah lama terjadi di Indonesia.
Baca: Pihak Keraton Pajang Jelaskan Sejumlah Perbedaannya dengan KAS, Salah Satunya Surat Kemenkumham
Dedi menyebut, fenomena itu merupakan problem sosial yang sudah akut dan berlangsung sejak lama.
Hal itu disampaikan Dedi ketika diminta komentar terkait Sunda Empire yang saat ini heboh di masyarakat, terutama di Jawa Barat.
Sebelumnya, masyarakat Jawa Barat heboh dengan munculnya Sunda Empire- Empire Earth di media sosial Facebook.
Berdasarkan penelusuran salah satu akun Facebook Renny Khairani Miller yang membagikan sejumlah foto kegiatan Sunda Empire pada 9 Juli 2019, terlihat spanduk bertuliskan Sunda Empire-Earth Empire dengan ratusan orang mengenakan seragam ala militer.
Menurut Dedi, ada problem sosial yang berlangsung cukup lama, yaitu masyarakat indonesia terbiasa masuk ke wilayah berpikir yang tidak realisitis atau terlalu obsesif.
"Ada obsesi mendapat pangkat tanpa proses kepangkatan atau instan. Ada obsesi ingin cepat kaya," kata Dedi kepada Kompas.com via sambungan telepon, Sabtu (17/1/2020).
Dedi mengatakan, di Indonesia itu dalam kehidupan sosial, banyak kelompok masyarakat yang setiap hari mencari harta karun, emas batangan, uang brazil dan sejenisnya.
Perilaku itu berlangsung lama dan tak pernah berhenti sampai saat ini.
"Banyak orang yang kaya raya jatuh miskin karena obsesi itu. Sampai miskin pun masih berharap obsesi itu tercapai," kata wakil ketua Komisi IV DPR RI ini.
Namun, kata Dedi, di sisi lain, kelompok adat yang memiliki sistematika cara berpikir realistis dan berbasis aspek alam mengalami peminggiran, baik dalam stasus sosial di masyarakat, maupun dalam status lingkungan.
"Misalnya areal adat komunitas adat kian sempit, tak dapat pengakuan. Kemudian membuat stigma bahwa mereka (kaum adat) adalah kelompok-kelompok yang dianggap bertentangan dengan asas kepatutan pranata sosial kemapanan hari ini," katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.