Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Soal Viralnya SK RW 03 di Surabaya Sebut Non-pribumi Wajib Bayar Iuran, Ini Penjelasan BPB Linmas

Surat tersebut berisikan keputusan kontroversial, yakni terdapat poin aturan yang mewajibkan warga non-pribumi membayar iuran

Editor: Imanuel Nicolas Manafe
zoom-in Soal Viralnya SK RW 03 di Surabaya Sebut Non-pribumi Wajib Bayar Iuran, Ini Penjelasan BPB Linmas
ISTIMEWA/Surya
Surat Keputusan (SK) RW 03 Bangkingan, Surabaya viral di media sosial. SK ini viral karena membedakan antara pribumi dan non-pribumi. 

TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Beredarnya surat keputusan RW 03 Kelurahan Bangkingan, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya, Jawa Timur mendadak viral di media sosial.

Surat tersebut berisikan keputusan kontroversial, yakni terdapat poin aturan yang mewajibkan warga non-pribumi membayar iuran ketika akan mendirikan rumah, PT dan CV, untuk kas RT dan RW.

Baca: Surat Keputusan RW di Surabaya Berbau Rasis Viral, Bedakan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi

Jumlah pungutan yang harus dibayar beragam, mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Salah satu pengguna Twitter, @cittairlanie menanggapi aturan pungutan kepada warga non-pribumi yang tinggal di Kelurahan Bangkingan, Surabaya.

"Respons dari @SapawargaSby ini mengindikasikan bahwa di Surabaya, otoritas tingkat RT/RW boleh menarik pungutan jutaan rupiah untuk warga "non pribumi" yg pindah ke wilayah tsb atau mendirikan rumah/PT/CV di wilayah tsb," tulis akun @cittairlanie seperti dikutip Kompas.com.

"Penasaran, definisi "pribumi" di sini apa ya?" ujar pemilik akun tersebut.

Penjelasan BPB Linmas Kota Surabaya

Berita Rekomendasi

Kepala Badan Penanggulangan Bencana dan Perlindungan Masyarakat (BPB Linmas) Kota Surabaya Eddy Christijanto mengatakan, pihaknya baru mengetahui ada iuran dengan penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi.

"Kami baru tahu siang tadi jam 14.00 WIB, bahwa ada iuran sekian, (di Kelurahan Bangkingan). Saya juga baru tahu kalau ada kata-kata pribumi dan non-pribumi," kata Eddy ditemui di ruang kerjanya, Selasa (21/1/2020).

Menurut Eddy, dalam Perda Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahaan (LPMK), RW dan RT, terdapat aturan mengenai sumber dana dan dana swadaya masyarakat.

Dalam Pasal 28 ayat (2) disebutkan bahwa sumber dana RW dan RT dapat diperoleh dari dana swadaya masyarakat, hasil usaha sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bantuan pemerintah daerah dan sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

Sementara itu, dalam Pasal 30 disebutkan bahwa: 


(1) segala jenis iuran bagi masyarakat yang dilakukan di wilayah RT dan RW wajib mendasarkan pada hasil musyawarah masyarakat setempat.

Kemudian, (2) pelaksanaan pungutan bagi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah dilakukan evaluasi terlebih dahulu dari Lurah.

Kemudian, (3) dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lurah wajib memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.

Untuk itu, kata Eddy, setiap musyawarah yang dilakukan RT dan RW sah, asalkan didasari atas musyawarah warga setempat.

Namun, hasil musyawarah itu, apabila berbunyi pungutan, tetap harus mendapatkan evaluasi dari lurah.

Selain itu, evaluasi juga harus disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.

"Aturan itu tidak dapat dilaksanakan kalau belum ada evaluasi lurah. Artinya, keputusan dari RW 03 Bangkingan ini, belum bisa dilaksanakan sebelum ada evaluasi dari lurah," ujar Eddy.

Mantan Kepala Bagian Administrasi Pemerintahan dan Otonomi Daerah Kota Surabaya ini menjelaskan, lurah diberi waktu untuk melakukan evaluasi selama 7 hari sejak keputusan tersebut diserahkan kepada lurah.

"Kalau aturan itu tidak diserahkan kepada lurah, justru tidak akan berlaku atau tidak bisa diterapkan," kata dia.

Mengenai penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi, menurut Eddy, ia menyimpulkan bahwa yang dimaksudkan adalah warga penduduk setempat dan warga pendatang, bukan soal suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

Meski demikian, ia menyebut penggunaan kata-kata pribumi dan non-pribumi cukup sensitif dan seperti kembali ke masa orde baru.

"Makanya kita harus lebih berhati-hati untuk menyebutkan kata-kata itu. Tetapi, tanpa bermaksud mendiskreditkan salah satu pihak, sebenarnya hal tersebut adalah biasa saja," kata Eddy.

"Cuma kan sensitivitas masyarakat ketika ada kata-kata itu, nampaknya seperti kembali ke masa-masa orde baru," kata Eddy.

Konfirmasi pembuat aturan Sementara itu, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) Bangkingan Paran membenarkan bahwa ada kebijakan tentang iuran membangun rumah, PT, maupun CV yang ditujukan kepada warga non-pribumi.

Ia mengatakan, meski surat itu sudah diputuskan dan telah disepakati RT 01 hingga RW 05 Kelurahan Bangkingan, kebijakan tersebut belum diserahkan kepada pihak kelurahan.

"Belum, belum, belum (di kelurahan)," kata Paran saat dihubungi.

Ia mengaku masih akan merapatkan lagi dengan pihak terkait, karena aturan ini menjadi polemik di masyarakat dan viral di media sosial.

"Iya benar (surat keputusan) itu. Nanti saya rapatkan lagi, saya masih di jalan," ujar dia.

Ia menjelaskan, rapat soal kebijakan tersebut akan dibahas bersama pengurus RT dan tokoh masyarakat setempat.

Permintaan maaf hingga iuran tak lazim

Dia juga meminta maaf soal penggunaan kata pribumi dan non-pribumi.

"Kami mewakili pengurus RW 03 meminta maaf apabila bahasa pribumi dan non-pribumi jadi masalah. Maksud kami mencantumkan istilah pribumi hanya untuk membedakan warga asli dan pendatang," kata dia.

Sementara itu, Camat Lakarsantri Harun Ismail mengatakan, aturan tersebut belum dievaluasi Lurah Bangkingan dan Kecamatan Lakarsantri.

Menurut dia, penggunaan istilah pribumi itu tidak wajar.

Apalagi ada Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi.

"Ya, kalau kembali ke aturan, kalau enggak salah ada instruksi presiden tidak boleh menggunakan kata pribumi, non-pribumi. Kalau bicara aturan ya seperti itu, tidak diperbolehkan berarti," ujar dia.

Sementara itu, iuran dengan jumlah ratusan hingga jutaan rupiah kepada warga non-pribumi, juga dinilai tidak lazim.

Sebab, iuran yang lazim untuk warga adalah iuran keamanan dan kebersihan.

"Ya, kalau saya sih berkaca di kampung saya, iuran yang lazim itu kan iuran keamanan dan kebersihan. Itu saja. Angkanya pun wajar-wajar saja," ucap Harun.

Ia mengaku tidak tahu apa yang menjadi pertimbangan RW Kelurahan Bangkingan membedakan jumlah iuran kepada warga setempat dan warga pendatang.

Dalam Perda Nomor 4 Tahun 2017, menurut Harun, pada Pasal 28 huruf (d) disebutkan bahwa sumber dana RT dan RW dapat diperoleh dari sumber-sumber lain yang tidak mengikat.

Penafsiran dari bunyi pasal tersebut, menurut Harun, iuran ditarik sesuai kesepakatan dan nilainya tidak mengikat atau sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masing-masing warga.

"Iya, harusnya itu tadi yang saya bilang di tempat saya. Iuran itu kan hanya iuran keamanan dan kebersihan. Angkanya pun semua warga sama, baik warga setempat atau pendatang," kata dia.

Dari 21 poin keputusan itu, terdapat 7 poin iuran yang diperuntukkan bagi warga non pribumi:

1. Barang siapa yang mendirikan rumah selain warga pribumi wajib membayar iuran untuk kas RT Rp 500.000 dan kas RW Rp 500.000.

2. Barang siapa yang mendirikan perusahaan (PT) selain warga pribumi wajib membayar untuk kas RT Rp 2.500.000 dan kas RW Rp 2.500.000

3. Barang siapa yang mendirikan perusahaan (CV) selain warga pribumi wajib membayar untuk kas RT Rp 1.500.000 dan kas RW Rp 1.500.000.

4. Barang siapa yang mau pindah masuk menjadi warga RW 03 selain warga pribumi wajib membayar iuran untuk kas RT Rp1.000.000 dan kas RW Rp1.000.000.

5. Setiap perusahaan (PT, CV) yang berada di wilayah RW 03 selain warga pribumi dikenakan iuran setiap bulannya untuk kas RW sebesar Rp 150.000.

6. Setiap perusahaan (UD) yang berada di wilayah RW 03 selain warga pribumi dikenakan iuran setiap bulannya untuk kas RW sebesar Rp 100.000

7. Setiap pedagang kaki lima yang berada di wilayah RW 03 selain warga pribumi (sepanjang jalan sebelah barat asrama polisi) dikenakan iuran setiap bulannya untuk kas RW sebesar Rp 50.000.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Duduk Perkara Iuran bagi Warga Non-pribumi di Surabaya yang Viral

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas