Akhir Kasus ZA, Pelajar yang Bunuh Begal di Malang: Hakim Beri Vonis Pembinaan, Ahli Hukum Keberatan
ZA (17), pelajar di Malang yang membunuh begal karena melindungi teman wanitanya divonis hukuman satu tahun pembinaan oleh Hakim PN Kepanjeng
Penulis: Daryono
Editor: Ifa Nabila
TRIBUNNEWS.COM - ZA (17), pelajar di Malang yang membunuh begal karena melindungi teman wanitanya divonis hukuman satu tahun pembinaan oleh Hakim Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang.
Vonis tersebut sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Hakim memutuskan ZA terbukti melakukan tindakan penganiayaan berujung kematian berdasarkan Pasal 351 KUHP.
Vonis dijatuhkan dalam sidang putusan yang dipimpin hakim tunggal, Nuny Defiary.
ZA nantinya bakal menjalani pembinaan di Lembaga Kesejahetraan Sosial Anak (KSA) Darul Aitam di Kecamatan Wajak, Kabupaten malang.
Atas vonis tersebut, keluarga ZA menyatakan menerima dan tidak melakukan banding.
Berikut update kasus pelajar bunuh begal sebagaimana dihimpun Tribunnews.com, Jumat (24/1/2020);
1. Alasan Hakim Tetap Jatuhkan Vonis
Dikutip dari Kompas.com, Humas Pengadilan Negeri Kepanjen, Yoedi Anugrah menyampaikan alasan vonis pidana pembinaan selama satu tahun itu dijatuhkan.
“Mungkin dinilai oleh hakim dirasa perlu dan cukup, dalam jangka waktu satu tahun cukup buat anak untuk memperbaiki dirinya,” kata Yoedi, usai persidangan.
Yoedi mengatakan, ada berbagai alasan vonis itu dijatuhkan.
Alasan itu dengan mempertimbangkan kejadian penikaman oleh ZA kepada pelaku begal yang menyebabkan begal tersebut meninggal dunia.
Hakim menilai, ZA tetap bersalah dalam kejadian itu.
Meskipun ZA sedang dalam posisi membela diri.
Dalam hukum pidana terdapat istilah noodweer atau alasan pemaaf.
Hal itu tercantum dalam pasal 49 KUHP.
Pasal itu mengatur bahwa seseorang yang melakukan pembelaan terpaksa tidak dikenai pidana.
“Itu sudah dalam pertimbangan majelis hakim, sudah dipertimbangkan lengkap oleh majelis hakim. Dan itu sudah diputus demikian,” kata Yoedi.
“Saya tidak bisa (menjelaskan) lebih dari pertimbangan hakim,” ujar dia.
2. Keluarga Terima Putusan Hakim dan Tak Banding
Atas putusan hakim PN Kepanjeng, keluarga ZA menyatakan menerima putusan tersebut.
Dikutip dari TribunJatim, keluarga berharap ZA kembali beraktivitas dengan normal seperti sediakala.
"Kami ingin pembinaan itu bisa menunjang pendidikan dan ilmu agama ZA menjadi lebih baik lagi," beber ayah tiri ZA, Sudarto
Sudarto menambahkan, keluarga menerima keputusan hukum secara legawa dan ikhlas.
Alasan keluarga tidak melakukan banding adalah agar ZA segera menjalani pembinaan.
"Sudah cukup sampai di sini kasusnya. Saya ingin ZA bisa beraktifitas kembali. Bersekolah," beber Sudarto.
Setelah menjalani, proses persidangan yang padat sejak pekan lalu, Sudarto menyampaikan rasa terima kasihnya kepada sang pengacara, Bhakti Riza.
"Saya ucapkan banyak terima kasih kepada mas Bhakti Riza. Termasuk kepada Pengadilan Negeri Kepanjen yang sudah memberikan putusan," beber Sudarto.
Di sisi lain, penasihat hukum ZA, Bhakti Reza, memastikan pihaknya tak akan mengajukan banding.
Bhakti Riza mengungkapkan, pembinaan kepada ZA lebih baik segera dilaksanakan.
"Kami ingin ZA bisa sekolah dan beraktivitas normal," kata Bhakti.
3. ZA akan Dibina Layaknya Santri Pondok Pesantren
ZA akan dibina di LKSA Dairul Aitam layaknya seorang santri pondok pesantren.
Masih mengutip TribunJatim, PK Madya Bapas Malang, Indung Budianto menjelaskan, selama di LKSA Dairul Aitam, pemuda berusia 17 tahun itu akan dibina layaknya santri.
LKSA Dairul Aitam dipilih sebagai lokasi ZA akan dibina karena sudah melakukan MoU dengan Bapas Malang dan sesuai prosedur Sistem Peradilan Pidana Anak.
"Pembinaan secara agama akan dilakukan. Juga psikologi dan pendidikan ZA. Mengingat ZA akan melakukan ujian nasional," beber Indung Budianto.
Indung Budianto memastikan, ZA tidak akan dipindah dari sekolah asalnya.
"ZA tetap akan sekolah di SMAN itu tapi tinggalnya musti di LKSA. Biar anak ini fokus ke ujian nasional juga," kata Indung.
4. Tanggapan Pakar Hukum soal Putusan Kasus ZA
Lantas, apa tanggapan ahli hukum pidana Universitas Brawijaya terkait putusan persidangan ZA?
Ahli hukum pidana UB, Lucky Endrawati mengatakan sebelum membahas dan menganalisis putusan tersebut, ada baiknya membahas beberapa hal terlebih dahulu.
"Jadi ada beberapa hal terkait jalannya persidangan dimana saat itu saya hadir sebagai saksi ahli. Pertama, yaitu sidang dilakukan secara tertutup karena pelaku adalah anak namun di surat dakwaan jaksa tidak merujuk atau menjucto kan pada UU 11 / 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)."
"Kedua, yaitu tentang pasal 340 pembunuhan dengan rencana atau pasal 338 pembunuhan dalam bentuk pokok juga tidak cermat karena pasal tentang pembunuhan yang mana tujuan akhirnya untuk membunuh sedangkan pelaku melakukannya untuk pembelaan darurat yang melampaui batas yaitu pasal 49 ayat (2) dimana pelaku mengalami keguncangan jiwa yang hebat sebagai adanya ancaman atau serangan dari para begal."
"Dan terakhir yang ketiga adalah ada alasan pemaaf sehingga pelaku melakukan perbuatan seperti yang dituduhkan jaksa sehingga ada alasan untuk menghapus pidana pelaku," ujar Lucky Endrawati kepada TribunJatim.com, Kamis (23/1/2020).
Lucky Endrawati menjelaskan, untuk tuntutan yang telah dibacakan oleh jaksa juga tidak sesuai atau tidak linear dengan dakwaan yg diajukan oleh pihak jaksa sendiri.
"Yang paling mencolok adalah tuntutan berupa pembinaan selama setahun. Dimana jaksa tidak pernah menyinggung tentang UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Padahal tentang tindakan pembinaan diatur oleh undang undang tersebut," tambahnya.
Oleh karena itu, Lucky Endrawati melihat, ada ketidakkonsistenan rumusan norma dalam pasal yang disusun dan dibuat oleh jaksa.
"Bisa saya katakan terjadi kekacauan norma pidana. Dengan demikian, kalau sudah dari awal tidak konsisten maka hasil akhirnya juga tidak konsisten penerapan norma pidananya," jelasnya.
Lucky Endrawati mengaku, sangat keberatan terhadap putusan persidangan ZA.
"Hakim memang punya kebebasan dalam menjatuhkan putusan namun secara yuridis, hakim dibatasi untuk menjatuhkan putusan sesuai tuntutan jaksa. Dan tuntutan jaksa itu tidak konsisten dengan penerapan norma pidananya sehingga tentunya saya merasa keberatan terkait putusan persidangan tersebut," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Daryono) (Sumber: TribunJatim/Kukuh Kurniawan/Erwin Wicaksono, Kompas.com/Andi Hartik)