Ingin Bangkit, Aceh Harus Bercermin pada Kearifan Masa Lalu
“Aceh pernah menjadi salah satu kesultanan Islam yang paling sukses di Nusantara, baik di bidang politik, ekonomi dan intelektual," sebutnya
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Universitas Syiah Kuala bersama Yayasan Sukma Bangsa dan Forum Bersama (Forbes) Anggota DPR dan DPD RI asal Aceh menggelar seminar Keacehan bertema "Kearifan Masa Lalu Kejayaan Masa Depan", di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Sabtu (15/2/2020).
Seminar diisi oleh para pemateri yang merupakan pakar sejarah dan akademisi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, yaitu DR Qismullah Yusuf, Mawardi Umar MA, DR Syaifullah Muhammad dan DR Alfi Rahman.
Baca: Forbes Anggota DPR dan DPD Asal Aceh Gelar Kenduri Kebangsaan di Bireun, Ini Tujuannya
Seminar yang merupakan Pre-Event acara Kenduri Kebangsaan 2020 yang akan berlangsung di Kabupaten Bireuen, Aceh, dan juga dihadiri oleh Presiden RI Joko Widodo, dilakukan untuk memperoleh ide-ide serta masukan yang dapat direkomendasikan kepada pemerintah untuk membangun Aceh di masa depan.
Peniliti sejarah Aceh Mawardi Umar MA menyebutkan, kemiskinan di Aceh sangat ironi lantaran Aceh memiliki hasil bumi atau kekayaan alam melimpah, serta tanah yang subur. Apalagi Aceh pernah berjaya pada masa Kesultanan Iskandar Muda.
“Aceh pernah menjadi salah satu kesultanan Islam yang paling sukses di Nusantara, baik di bidang politik, ekonomi dan intelektual," sebutnya dalam keterangan yang diterima, Sabtu.
Menurut Mawardi Umar, pada abad ke 17, Aceh menjadi kekuatan politik dan ekonomi terkuat di bagian barat Nusantara yang mampu membendung perkembangan kolonial Portugis.
“Keunggulan yang dimiliki Aceh tersebut perlahan mengalami kemunduran yang diawali masuknya kolonial Belanda hingga terjadi pelawanan puluhan tahun. Hampir seluruh infrastruktur ekonomi hancur dan sosial budaya mengalami kemunduran.
Mawardi menilai, kejayaan masa lalu Aceh tidak terlepas dari kecerdasan rakyat Aceh yang saat itu memanfaatkan keuntungan posisi geografis Aceh sebagai pintu masuk Selat Malaka yang sangat penting peranannya sebagai jalur pelayaran internasional.
“Aceh saat itu tidak hanya sebagai pusat pemerintah yang kuat, namun juga menjadi pusat perdagangan dan peradaban.
Hal senada juga dikatakan Qismullah Yusuf, staf pengajar Ilmu Sejarah Universitas Syiah Kuala.
Menurutnya, Aceh masa lampau juga telah melakukan hubungan diplomasi dengan negara-negara di Eropa seperti Inggris, Turki dan Belanda.
“Pada Abad 16-17 Kesulatanan Aceh mengirim empat orang utusannya ke Belanda yang di pimpin Tuanku Abdul Hamid untuk mengakui kedaulatan Belanda setelah bebas dari Spanyol. Akhirnya, pada 10 Agustus 1602, Tuanku Abdul Hamidi meninggal di Amsterdam,” sebut Qismullah Yusuf.
Di sisi lain, kekayaan alam Aceh seperti pala, cengkeh, kopi gayo dan nilam juga salah satu komoditi yang berpeluang mengembalikan Aceh pada kejayaan di masa mendatang seperti di masa kesulatanan Aceh lampau.
“Nilam salah satu komoditi unggul yang dapat diolah seperti minyak wangi yang dapat meningkatkan nilai tambah ekonomi untuk di ekspor,” kata Syaifullah Muhammad, Kepala Pusat Atsiri Research Center (ARC) Universitas Syiah Kuala.
Sementara itu, Peneliti Tsunami Mitigation Reserch Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Alfi Rahman menyebutkan, keruntuhan kejayaan Aceh selain akibat masuknya kolonialisme Belanda, juga akibat faktor bencana alam gempa dan tsunami.
Hasil penelitian di gua Ek Leuntie, Aceh Besar, ungkap Alifi, peneliti menemukan bahwa tsunami yang melanda Aceh pasa 26 Desember 2004 silam bukan yang pertama kalinya terjadi. Tsunami pernah terjadi di Aceh ratusan tahun sebelumnya.
Seperti di Kepulauan Simeulue, pengetahuan masyarakat lokal menyebutkan tsunami dengan istilah Smong.
Baca: Mahasiswi asal Aceh yang Kuliah di Shanghai sudah Kumpul Bersama Keluarga
“Kisah Smong atau tsunami dikisahkan lewat budaya lokal masyarakat Simeulue yang disebut nafi-nafi atau cerita tutur tentang kisah masa lalu yang hingga kini masih dilestarikan,” jelasnya.
Diharapkan dengan bercermin dari kejadian masa lalu, Aceh ke depan bisa bangkit untuk mengembalikan kejayaan di masa mendatang. Kejayaan tersebut tidak terlepas dari sejarah dan budaya serta kearifan lokal yang harus tetap dilestarikan.