Kajari Pematang Siantar Jelaskan Dihentikannya Kasus 4 Petugas Pria Mandikan Jenazah Bukan Muhrim
SKP2 dapat dicabut kembali apabila di kemudian hari terdapat alasan baru yang diperoleh penuntut umum
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, PEMATANGSIANTAR - Kasus empat petugas Tim Forensik yang memandikan jenazah perempuan akhirnya dihentikan.
Penghentian kasus ini setelah Kejaksaan Negeri Pematangsiantar mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).
SKP 2 dikeluarkan atas perkara dugaan penistaan agama oleh 4 terdakwa petugas Tim Forensik RSUD Djasamen Saragih Pematangsiantar.
Berikut fakta-faktanya :
1. Ditemukan keliruan oleh jaksa peneliti
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Pematangsiantar, Agustinus Wijoyo, mengatakan, pihaknya mengeluarkan SKP2 pada Rabu (24/2/2021).
Alasan penghentian penuntutan ditemukan kekeliruan oleh jaksa peneliti.
Ia juga mengakui jaksa peneliti kurang cermat.
Baca juga: Mahfud MD Hubungi Kejaksaan Untuk Siap-Siap Usut Dugaan Penyelewengan Dana Otsus Papua
"Ditemukan kekeliruan dari Jaksa peneliti dalam menafsirkan unsur-unsur, sehingga tidak terpenuhinya unsur-unsur dakwaan kepada para terdakwa," jelas Agustinus dalam konferensi pers di gedung Kejari Pematangsiantar, Jalan Sutomo, kemarin sore pukul 15.30 WIB.
2. Tak Ditemukan cukup bukti
Agustinus menyatakan, tidak ditemukan cukup bukti yang dilakukan para terdakwa.
SKP2, kata Agustinus, dilakukan berdasarkan Pasal 14 huruf (a) junto pasal 140 ayat 2 huruf (a) KUHAP.
"Menghentikan penuntutan perkara pidana atas nama Dedi Agus Aprianto dan kawan-kawan karena tidak terdapat cukup bukti," ucap Agustinus.
3. SKP 2 Bisa Dicabut
Meski demikian ia menjelaskan SKP2 dapat dicabut kembali apabila di kemudian hari terdapat alasan baru yang diperoleh penuntut umum.
Kemudian, SKP2 dicabut bila ada putusan praperadilan atau telah mendapat putusan akhir pengadilan tinggi yang menyatakan penghentian penuntutan tidak sah.
"Dalam perkara yang dilimpahkan ke pengadilan salah satu unsur tidak terbukti maka itu bebas," kata Agustinus.
4. Tiga unsur tidak memenuhi
Ia menjelaskan, ada unsur-unsur yang tidak terbukti dalam kasus tersebut.
Antara lain unsur kesengajaan dalam pasal 156 huruf a junto pasal 55 ayat 1 tentang Penistaan Agama.
Dalam berkas perkara, keempat tersangka mengakui melakukan pemusalaran jenazah atas jenazah almarhumah Zakiah, dan ada membuka pakaian sampai telanjang.
Hal itu semata-mata bertujuan untuk membersihkan kotoran jenazah yang masih melekat di dalam tubuh.
Selanjutnya, kata Agustinus, dihubungkan dengan kondisi yang mendesak pasien suspek Covid-19, maka tidak menunggu waktu lama dalam penanganannya, dan perbuatan tersebut harus dilakukan.
"Sehingga dengan demikian niat jahat atau 'Mens rea' dari empat terdakwa untuk menodai agama Islam atau agama yang dianut di Indonesia, dengan cara memandikan jenazah wanita muslim yang bukan muhrim dan membuka pakaian sampai telanjang, tidak ditemukan adanya niat dari para terdakwa," jelasnya.
"Jadi kami simpulkan unsur ketidaksengajaan tidak ditemukan dalam perkara ini.
Para pelaku melakukan tugasnya pemusalaran pasien suspek Covid," katanya menambahkan.
Selain itu, unsur kesengajaan di muka umum dalam pasal 156 huruf a junto pasal 55 ayat 1 tentang Penistaan Agama.
Bahwa dari keterangan dari saksi dan para terdakwa melalui bukti surat dan berkas perkara, diperoleh fakta bahwa rumah sakit, khususnya ruang instalasi jenazah, bukan tempat umum.
Ruang instalasi jenazah Forensik RSUD Djamasen Saragih bebas dikunjungi untuk umum, namun tidak semua orang bisa memasukinya sehingga tidak bisa disebut sebagai tempat umum.
Baca juga: Tanggapi Kasus Narkoba Jennifer Jill, Nikita Mirzani: Jangan Judge Kalau Pakai Narkoba itu Jahat
Dalam unsur perkara ini, jelas Agustinus, yang terjadi di masa pandemi Covid 19 sebagaimana Perpers 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana non alam penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional.
"Maka akses masuk ke ruangan tersebut sangat terbatas, maka dengan demikian unsur di muka umum itu tidak terbukti," bebernya.
Selanjutnya terkait unsur mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan suatau agama yang dianut di Indonesia, dalam pasal 156 huruf a junto pasal 55 ayat 1 tentang penistaan agama, dari keterangan ahli dalam berkas perkara, 4 terdakwa disebut ada melanggar dua ketentuan.
Yaitu SOP dari RSUD Djasamen Saragih tentang penanganan jenazah Agustinus menjelaskan, pemandian jenazah yang bukan muhrimnya bukanlah sebagai bentuk penodaan atau pelecehan agama.
Namun perbuatan itu murni dilakukan untuk melakukan tugas, berdasarkan surat keputusan kepala Dinas kesehatan Kota Pematangsiantar yang dikeluarkan dalam kondisi darurat sesuai dengan Perpers 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana non alam penyearan Covid-19 sebagai bencana nasional.
Bahwa dengan demikian pelanggaran prosedur yang dilakukan 4 terdakwa belum termasuk sebagai perbuatan penodaan secara agama yang dianut di Indonesia.
"Unsur mengeluarkan perasaan melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan suatau agama yang dianut di Indonesia tidak terpenuhi dalam perkara ini," ucapnya.
Artikel ini telah tayang di tribunjabar.id dengan judul Kasus 4 Petugas Forensik Mandikan Jenazah Bukan Muhrim Dihentikan Kejaksaan, 3 Unsur Tak Terpenuhi