KISAH Tobatnya Eks Komandan JI, Dapat Hidayah Lihat Polisi yang Dianggapnya Kafir Salat Tepat Waktu
Mantan (eks) komandan atau Ketua Jamaah Islamiyah (JI) Wilayah Mantiqi ke-III Asia Tenggara, Nasir Abbas membagikan kisah hidupnya.
Editor: Endra Kurniawan
TRIBUNNEWS.COM - Mantan (eks) komandan atau ketua Jamaah Islamiyah (JI) Wilayah Mantiqi ke-III Asia Tenggara, Nasir Abbas membagikan kisah hidupnya.
Nama Nasir Abbas sendiri tak asing di telinga di kelompok teroris mengatasnamakan agama di Indonesia.
Perjalanannya di dunia gelap ini dimulai saat dirinya berjumpa dengan Abu Bakar Ba'asyir dan Abdullah Sungkar.
Pertemuannya tersebut terjadi di dalam majelis di sebuah masjid di Malaysia.
Di massa ini, JI belum terbentuk.
Baca juga: Hampir Setahun Tak Bisa Tidur Nyenyak, Juri Sudah Makamkan 425 Pasien Covid-19, Ini Kisahnya
Enam tahun ditempa dalam Akademi Militer Afganistan, jabatan itu dipegang pemilik nama samaran Chaerudin ini tatkala masih memegang komando pasukan JI di Asia Tenggara.
Abbas juga melatih ratusan kader simpatisan JI yang berasal dari negara-negara Asia Tenggara, bahkan Timur Tengah; Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Kashmir, Pakistan, dan Yaman, dengan kemampuan militer, di camp militer yang dibangunnya di Filipina.
Sebut saja insiden teror yang terjadi di beberapa negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, yang teridentifikasi anggota JI sebagai pelakunya.
Mungkin itu salah satu murid Abbas, tatkala masih mengajar di akademi militer JI.
Di banyak kesempatan berbicara, Abbas selalu berujar, seandainya ia tak dicokok oleh anak buah Jenderal Polisi Da'i Bachtiar, Kepala Polisi RI (Kapolri) di tahun 2003, silam.
Entah sampai kapan dirinya terus dalam belenggu kelompok yang bakal selalu menjebaknya dalam kesempitan berfikir, dan rasa lelah lari dari kejaran aparat kemananan di seluruh negara.
Baca juga: Kisah Ibu Muda, Baru Saja Dicerai Suami, Kini Ajak Bayinya Jualan Bakso Demi Mengais Rezeki
Penangkapan Abbas
Kisah kebesaran Abbas sebagai pimpinan kelompok JI itu berhenti saat dirinya dicokok dalam sebuah penyergapan di sebuah tempat persembunyian di Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (18/4/2003) silam.
Enam orang anggota polisi dari unit khusus penanggulangan terorisme Mabes Polri, yang saat itu dikomandoi Saud Usman Nasution, Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT-RI), kini Purnawirawan berpangkat Komisaris Jenderal Polisi itu, menyergapnya di rumah tersebut.
Rencana Abbas untuk kabur dari penyergapan sore hari itu ternyata menemui jalan buntu.
Belasan anggota polisi berseragam ataupun tidak, mengepung kawasan permukiman tempat ia sembunyi.
"Diam jangan bergerak," ujar Abbas seraya menirukan pekikan suara parau nan lantang dari mulut petugas polisi yang mungkin berhari-hari tak tidur untuk mengintai dirinya, kala itu.
Abbas yang saat itu siap mati diterjang peluru polisi, malah makin kalap.
Bukannya menuruti perintah tersebut, ia justru nekat berjalan perlahan mendekati tempat berdiri keenam polisi yang tengah menodongnya dengan senjata berat jenis otomatis.
Lalu ia merampas senjata seorang anggota polisi. Dan pecahlah pergulatan antara keduanya.
Meskipun akhirnya Abbas bertekuk lutut, tercatat dua orang anggota polisi dikabarkan babak belur akibat bergulat melawannya.
"Saat saya ditangkap, saya diborgol 3 pasang borgol, di kaki juga dirantai," ujarnya.
Baca juga: Kisah Remaja ABK Ditemukan Terkatung-katung Tanpa Busana di Laut, Kini Tak Punya Uang Untuk Pulang
Saat dirinya diamankan lalu dibawa ke Mabes Polri untuk diinterogasi sebagai buronan berbahaya. Abbas mengaku batinnya terus berkecamuk.
Bukan karena perjuangannya sebagai Anggota JI, pupus, setelah lebih dulu dibekuk polisi.
Namun, karena dirinya masih hidup dan tidak ditembus peluru petugas, dalam pergulatan penyergapan itu.
Abbas mengatakan, kala itu sebagai anggota JI, dirinya berprinsip lebih baik mati ketimbang harus ditangkap oleh aparat dari negara yang kafir.
"Saat itu saya merasa menyesal, kenapa saya tidak mati, padahal saya sudah berusaha. Kenapa Allah tidak biarkan saya mati? Padahal saya sudah berusaha melawan," tuturnya.
Di lain sisi, ungkap Abbas, dirinya mengaku tidak terima ditangkap oleh aparat atas dugaan keterlibatan aksi pengeboman yang dilakukan anggota JI lainya.
Pasalnya, dirinya tidak pernah terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam operasi penyerangan dan pengeboman yang terjadi di beberapa daerah kala itu.
Selain itu, sebagai sikap pribadi, Abbas mengaku tidak bersepakat dengan adanya aksi penyerangan; bom, yang menargetkan warga sipil.
Baginya, menurut prinsip Islam, dalam situasi perang yang tak terhindarkan sekalipun, pihak yang berkonflik dilarang menargetkan warga sipil atau orang lemah yang tidak berkaitan langsung dengan sebab-musabab peperangan.
"Islam mengajarkan tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, orang tua renta, orang tidak bersenjata, orang yang berlindung di rumah ibadah. Ya dan macam-macam lagi larangannya," ungkapnya.
Baca juga: Lewat Jasa Tensi Darah Keliling, Kakek 70 Tahun Bisa Sarjanakan Anak hingga Jadi PNS, Ini Kisahnya
Hanya saja, Abbas mengaku kesulitan meredam aksi nekat dari para anggota dan rekan sesama pimpinan di dalam JI saat itu.
Tak cuma itu, perasaan Abbas yang hancur, makin berlarut-larut saat dirinya dan sejumlah anggota JI kontra-pengeboman warga sipil, tak bisa menghalangi atau menahan aksi rekan anggota JI yang pro-pengeboman.
Ia hanya bisa mengelus-elus dada seraya sekuat tenaga menasehati anggota-anggota JI yang masih hidup dalam pelarian pascamelancarkan aksi.
Namun ternyata, upayanya itu tetap tidak bisa meredam aksi teror yang dilakukan anggota JI, hingga detik ini.
Mendapat Hidayah
Meski dirinya tak terlibat pengeboman. Semenjak ditangkap polisi, Abbas mengaku mendapat hidayah dari Tuhan sehingga membuatnya kini bisa berubah berbalik 180 derajat.
Hingga membuatnya tidak lagi kembali menjadi anggota JI, termasuk meninggalkan semua ajaran menyesatkan di dalamnya.
Hidayah dari Tuhan yang dimaksud Abbas ternyata dalam bentuk penampakkan perilaku kebajikan yang tak disadari muncul dalam adegan-adegan kehidupan saat dirinya diinterogasi di Mabes Polri, Jakarta.
Ia mendapati cuplikan adegan yang menghentak benaknya, saat melihat beberapa anggota polisi yang tengah berdinas meminta izin salat fardhu di awal waktu tatkala mendengar kumandang adzan.
"Saya mendengar azan dan ada anggota polisi yang angkat tangan kepada komandan dia; Ndan salat dulu. Mereka salat tepat awal waktu. Tidak semuanya tapi ada beberapa polisi yang kemudian izin untuk salat awal waktu," katanya.
Adegan itu, meskipun terbilang umum dan tidak ada orang yang memperhatikan, bagi Abbas, membuat hatinya terenyuh.
Baca juga: Kisah Mantan Pemain Manchester United yang Sekarang Jadi Kuli Bangunan
Seorang polisi, aparat negara yang dianggapnya kafir, ternyata berusaha untuk menunaikan ibadah salat tepat waktu.
Tak cuma itu, ada adegan kehidupan lain yang seakan dicuplikan Tuhan sebagai hidayah untuk Abbas. Yakni tatkala dirinya diberi nasi bungkus, dalam suatu sela sesi interogasi.
Pada saat yang sama, ia juga melihat ke arah lain mendapati ada seorang anggota yang tidak memperoleh jatah nasi bungkus.
Ia mengira, jatah bungkusan nasi saat itu memang terbatas, sehingga membuat si polisi itu harus menunggu jatah nasi bungkus yang sedang diambilkan rekannya.
Ternyata dugaan Abbas keliru. Polisi itu menjawab dirinya sedang berpuasa sunnah senin-kamis.
Mendengar pernyataan itu, Abbas bergumam diam-diam dan merasa terenyuh hatinya.
Lagi-lagi anggapannya tentang polisi yang dikafirkannya itu, patah.
Ternyata ada juga figur polisi yang memiliki kualitas Keimanan Islam yang melebihi dirinya.
"Hati saya tersentuh, saya berpikir ada something wrong dalam masalah pengkafiran. Sehingga saya belajar lagi dalam masalah soal mengkafirkan muslim yang lain," jelasnya.
Dua adegan itu, diakui Abbas menjadi titik balik kehidupannya.
Setelah menjalani masa hukuman selama setahun, akibat terbukti pemalsuan dokumen, dan tidak terbukti terlibat dalam aksi pengeboman.
Baca juga: Kisah Pilu Ibu Muda di Banyuasin, Nikah Usia 9 Tahun, Kini Dirudapaksa Kakak Ipar, Suami Tak Percaya
Di pertengahan tahun 2000-an, ia memutuskan berhenti menjadi anggota organisasi JI ataupun kelompok sempalan sejenisnya. Dan berkomitmen membantu pemerintah dalam menghadapi paham terorisme.
Abbas merasa, upayanya menghentikan aksi teror yang dilakukan rekannya dulu di JI, sepertinya ditakdirkan Tuhan, harus melewati jalur ikhtiar lain melalui kerja sama dengan aparat negara; kepolisian.
Kini, ia aktif sebagai konsultan Senior di Lembaga Riset Division for Applied Social Psychology Research (DASPR). Sebuah lembaga yang konsen pada penanggulangan teroris dan pendampingan narapidana teroris (napiter) atau mantan napiter dalam menjalani deradikalisasi.
Sejak bebas dari penjara. Abbas sangat sibuk, berkeliling seluruh Indonesia, bersama BNPT RI memberikan wacana penanggulangan terorisme, sekaligus pendampingan Napiter di lembaga pemasyarakat.
Seraya menjalankan bisnisnya menjual produk olahan madu yang dikelola keluarganya.
Abbas kini memiliki arah dan penyegaran baru dalam jihad. Yakni jihad untuk menyadarkan rekan-rekan sesama JI, dan jihad merawat negara Indonesia sebagai negara darussalam, yang aman, damai, dan tentram.
"Kalau saya ketemu mereka, pasti akan saya bilang, Indonesia bukan tempatnya menegakkan negara Islam. Kalau punya keyakinan hidup membuat negara Islam, carilah negara lain, bukan di Indonesia," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Melihat Polisi Muslim Puasa Sunnah dan Salat Diawal Waktu, Mantan Komandan JI Asia Tenggara Tobat
(Surya.co.id/Luhur Pambudi)