Pajak Pendidikan Makin Menyulitkan Masyarakat Kecil Mengakses Pendidikan
Pajak pendidikan semakin menyuliskan masyarakat kecil mendapatkan pendidikan, padahal itu amanat UUD 1945.
Editor: cecep burdansyah
News Analyisis
Bhima Yudhistira
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios)
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR- Rencana pemerintah menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen bagi sekolah atau jasa pendidikan lainnya malah berbanding terbalik dengan arah kebijakan pembangunan Presiden Jokowi di periode kedua yang fokus pada pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Kebijakan ini justru akan membuat masyarakat Indonesia, khususnya kalangan menengah ke bawah sulit mengakses pendidikan.
Akibatnya biaya pendidikan semakin sulit dijangkau masyarakat kelas bawah yang tidak mendapatkan fasilitas pendidikan gratis pemerintah.
Apalagi, jika pemberlakuan PPN di bidang jasa tersebut meliputi penyelenggaraan pendidikan sekolah di berbagai jenis dan tingkatan: mulai dari pendidikan umum, kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, pendidikan profesional, hingga pendidikan di luar sekolah.
Pemerintah semestinya sadar jika kualitas pendidikan Indonesia saat ini masih terlalu rendah untuk membangun manusia yang unggul.
Ini tercermin dari skor PISA Indonesia yang masih berada di urutan 72 dari 79 negara.
PISA atau Program for International Student Assessment merupakan penilaian yang digunakan untuk mengukur kualitas pendidikan yang terdiri dari kemampuan membaca, sains, dan matematika siswa di berbagai negara di seluruh dunia.
Padahal skor PISA yang mengukur kemampuan membaca, sains dan matematika ada di 74 dari 79 negara.
Salah satu masalah utama pendidikan karena akses pendidikan dan kualitas pendidikan yang belum merata, akibatnya kinerja SDM kita dibawah rata-rata dunia.
Di tambah beban PPN, ya makin sulit lagi bagi anak sekolah mengejar negara lain.
Padahal, di banyak negara pendidikan merupakan sektor yang dikecualikan dari pajak. Di banyak negara saja PPN pendidikan itu dikecualikan, kok di Indonesia mau dimasukkan.
Dasarnya apa saya juga kurang paham kalau hanya sekedar kejar-kejaran soal penerimaan pajak jangka pendek. Pemerintah sepertinya tidak paham filosofi pembuatan aturan PPN kenapa pendidikan harus dikecualikan.
Selain itu, kebijakan tersebut justru semakin mencekik kehidupan masyarakat kecil yang menurutnya seperti peribahasa ‘sudah jatuh tertimpa tangga’ akibat kebijakan tersebut.
Oleh sebab itu, sebaiknya pemerintah menarik pembahasan revisi KUP dari legislatif.
Terkait beban bagi masyarakat ibarat jatuh tertimpa tangga. Sudah kena PPN sembako, subsidi listrik mau dicabut, sekarang pemerintah mau kejar PPN sekolah.
Dari seluruh jasa pendidikan yang risikonya paling besar dikenakan PPN adalah perguruan tinggi dimana omsetnya di atas Rp 4,8 miliar per tahun. Ini akan mempengaruhi biaya kuliah. Jadi sangat salah total. Pemerintah disarankan menarik pembahasan revisi KUP. (gil)
Baca juga: Kepala Sekolah di Bali Kompak Menolak Kenaikan Pajak Pendidikan