Mitos Turun Pangkat Pejabat yang Berkunjung ke Dusun Poro Wonogiri, Begini Cerita Aslinya
Dari beberapa warga yang ditemui menyebutkan jika ada seorang pejabat pergi datang bakal berjurung kesialan.
Editor: Erik S
TRIBUNNEWS.COM, WONOGIRI - Di Dusun Poro, Desa Tlogosari, Kecamatan Giritronto, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah ada mitos mengenai penggunaan kayu jati dan kunjungan pejabat.
Masyarakat setempat dilarang menggunakan kayu jati sebagai keperluan rumah dan mebel. Selain itu, pejabat yang berani datang diyakini akan mendapatkan sial.
Dikutip Tribunnews dari TribunSolo.com, informasi tersebut menyebar dari mulut ke mulut warga.
Dari beberapa warga yang ditemui menyebutkan jika ada seorang pejabat pergi datang bakal berjurung kesialan.
Entah diturunkan pangkatnya, ataupun kariernya akan segera berakhir.
Salah satu tokoh masyarakat setempat, Wakino (66) juga tak menampik adanya mitos itu di daerah tempat tinggalnya.
Baca juga: Mitos Atau Fakta, Penderita Epilepsi Tidak Boleh Menikah? Begini Penjelasan Dokter
"Memang iya, dari kecil saya sudah mendengar cerita tentang larangan pegawai berkunjung kesini, katanya bisa keplorot," kata dia kepada TribunSolo.com.
Namun ia menyebut bahwa mitos tentang kunjungan pejabat tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kayu jati dan hanya cerita yang dibuat-buat.
"Itu saya kira cuma akal-akalan orang jahat jaman dulu, di sini kan termasuk wilayah yang pinggir," terangnya.'
Dengan begitu, menurutnya dulu tempat tersebut dijadikan tempat persembunyian orang-orang buruk, seperti maling dan lainnya.
Baca juga: Masyarakat Indonesia Perlu Tepis Mitos untuk Cegah Stunting pada Anak
Sehingga mitos tentang pejabat yang kesana akan mendapatkan nasib sial, itu dibuat hanya menutupi keberadaan orang-orang jahat itu.
Namun, Wakino berpendapat, semua kembali pada niat dan perbuatan yang bersangkutan itu sendiri, dalam hal ini adalah pejabat.
"Kalau ada petugas ke sini itu jujur, niatnya baik, mau apapun kebutuhannya mestinya tidak apa-apa," kata dia.
"Tapi kalau kesini berbuat jahat, membuat masyarakat disini sengsara, ya doanya orang banyak itu mungkin yang menyebabkan hal itu," imbuhnya.
Meskipun begitu, Wakino tidak tahu kapan mitos itu mulai berkembang disana, yang jelas sejak dia kecil sudah mendengar cerita tersebut.
Kayu Jati Dilarang
Warga dilarang menggunakan kayu jati untuk bangunan rumah ataupun bangunan lain seperti pagar ataupun kandang ternak.
Baca juga: Mitos atau Fakta, Stres Dapat Membuat Sakit Kepala? Begini Penjelasannya
Penggunaan mebel berbahan kayu jati pun dilarang.
Bahkan saking takutnya celaka, warga sangat berhati-hati jika membeli perabot rumah.
Disampaikan oleh tokoh masyarakat setempat, Wakino, hal tersebut berkaitan dengan cerita turun temurun yang ada di Dusun Poro.
Warga setempat percaya dengan cerita sesepuh yang menyebutkan bahwa dahulu kala Mbah Bayan yang ada di sana melarang anak cucunya menggunakan kayu jati.
"Sampai sekarang masih. Bila ada yang menggunakan (jati) entah kebetulan atau bagaimana ada kejadian yang tidak baik," kata dia kepada TribunSolo.com, Sabtu (30/10/2021).
Akan tetapi, kejadian tidak baik itu tak serta merta langsung muncul ketika ada warga yang nekat memanfaatkan kayu jati untuk bangunan.
Baca juga: Ketahui Penanganan Kesehatan Mental Lewat Buku Panduan Pertolongan Pertama Kesehatan Jiwa Indonesia
Dicontohkannya seperti yang dialami Eyangnya yang pernah menggunakan satu batang kayu jati untuk kasau (usuk) rumah.
Saat eyang yang berasal dari Jawa Timur itu meninggal, kata dia, ada kejadian yang tak masuk diakal.
"Saat akan dimakamkan, masih keluar darah dari bekas luka. Itu kenyataan, saya sendiri melihat," jelasnya.
Terkadang, apabila masyarakat lupa juga akan mengalami kejadian itu.
Misalnya ketika terkena pisau, darah juga tak berhenti menetes.
Memang penggunaan kayu jati masih diperbolehkan bila untuk gagang sabit maupun cangkul dan kayu bakar.
Kadang ada warga yang lupa dan menyelipkan sabit bergagang jati itu di bagian rumah, sehingga banyak yang mengalami kejadian itu.
"Tapi bagusnya, bila ada orang yang tidak suka dengan saya misalnya, dan misalnya pasang pagar di rumah saya pakai kayu jati, yang celaka orang yang masang itu," ujarnya.
Asal-usul Pantangan
Sekilas tak ada yang berbeda dengan aktivitas warga di Dusun Poro, Desa Tlogosari, Kecamatan Giritontro, Kabupaten Wonogiri.
Masyarakat beraktivitas seperti halnya di tempat-tempat lain.
Ada yang berkebun, mencari pakan ternak dan berkegiatan lain.
Namun ada yang menarik, masyarakat di sana tidak ada satupun yang menggunakan kayu jati untuk bangunan rumah karena suatu hal.
Bahkan untuk menemukan pohon jati di sana pun sangatlah sulit, berbeda dengan dusun disekitarnya yang banyak tumbuh pohon jati.
Wakino, tokoh masyarakat setempat, menceritakan penyebab masyarakat tak ada yang berani berani menggunakan kayu jati.
"Ini berkaitan dengan cerita rakyat," kata dia kepada TribunSolo.com, Sabtu (30/10/2021).
"Orang zaman dahulu yang punya keampuhan, apapun perkataannya akan diikuti, orang ampuh itu Mbah Bayan," jelasnya.
Wakino menceritakan, ketika zaman Kerajaan Majapahit, ada pemuda pendatang bernama Citrowongso.
Saat itu, ia datang ke wilayah Dusun Poro saat malam hari dan kondisi hujan lebat.
Citrowongso yang membuat api di atas air untuk menghangatkan diri membuat orang yang sedang roda malam heran dan melaporkan kejadian itu ke Mbah Bayan.
Kemudian oleh Mbah Bayan, Citrowongso yang saat itu mengembara diajak tinggal bersama.
Setelah lama tinggal di tempat Mbah Bayan, ia dijodohkan dengan anak perempuannya.
"Setelah lama menikah, Citrowongso ini diutus untuk berangkat perang, sebab kondisi Mbah Bayan saat itu sudah cukup tua," aku dia.
"Selain itu anak hanya dua, laki-laki dan perempuan, maka dari itu diutus anak menantunya," jelasnya.
Sebelum berangkat, Citrowongso dibekali dengan serban atau kendaraan zaman dahulu yang terbuat dari kayu jati.
Kemudian ia berpesan kepada keluarga sebelum berangkat perang.
Jikalau serban tersebut kembali dalam keadaan berlumuran bercak darah, maka dipastikan Citrowongso gugur.
Namun apabila kembali dalam keadaan bersih, Citrowongso berarti memenangi peperangan yang diikutinya.
Singkat cerita, kata Wakino, Citrowongso memenangi perang itu dan mengutus serban dari Mbah Bayan untuk pulang terlebih dahulu.
Namun diperjalanan pulang, serban itu bergesekan dengan pupus daun jati yang mengakibatkan banyak noda warna merah.
Hal itu yang membuat Mbah Bayan dan istri Citrowongso sedih kala teringat pesan yang disampaikan sebelum berangkat perang.
Karena lama tak kunjung pulang dan menganggap Citrowongso meninggal, akhirnya istri Citrowongso dinikahkan kembali dengan resepsi besar dan menggelar wayangan.
"Citrowongso yang saat itu sampai di Poro kemudian tanya ke Mbok Rondho yang rumahnya di dekat acara resepsi," aku dia.
"Kemudian oleh Mbok Rondho dijelaskan bahwa itu acara resepsi anak Mbah Bayan," ucapnya.
Citrowongso kemudian menemui dalang dalam acara wayangan itu dan meminta izin untuk menjadi dalang.
Setelah diizinkan, Citrowongso kemudian mendalang dengan menceritakan perjalanan hidupnya. Saat itu, barulah semua sadar bahwa Citrowongso masih hidup.
"Mbah Bayan kemudian berujar bahwa ia melarang anak cucunya yang menempati Dusun Poro dilarang menggunakan kayu jati," jelasnya.
Hingga saat ini, pantangan tersebut masih dipatuhi masyarakat Dusun Poro, tak ada yang berani melanggar.
"Kepercayaan masyarakat di sana apabila melanggar, akan ada musibah yang menimpa mereka," aku dia. (Penulis: Erlangga Bima Sakti)
Artikel ini telah tayang di TribunSolo.com dengan judul Kisah Lain di Dusun Poro Wonogiri: Tak Ada Pejabat yang Berani Datang Kunjungan, Bisa Berujung Sial
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.