Kisah PMI Asal Bali Pulang dari Ukraina, Yuni Sembunyi di Bungker, Tak Tidur 5 Hari
Di bunker dengan ukuran terbatas ratusan WNI berdesak-desakan. Mereka mengutamakan anak-anak.
Editor: cecep burdansyah
TRIBUNNEWS.COM, BADUNG - Ni Wayan Era Rustini (26), Pekerja Migran Indonesia (PMI) mengaku trauma berkerja di Ukraina. Perempuan asal Banjar Puseh, Desa Angantaka, Abiansemal Badung itu pun merasa takut ketika mendengar suara ledakan.
Perempuan kelahiran 22 November 1995 itu mengaku bersyukur lantaran bisa pulang kembali ke Bali, Senin (7/3) malam. Namun untuk pulang ke Indonesia, pihaknya pun dikawal ketat dengan menggunakan jalur darat.
Selama berada di negeri yang sedang diinvasi oleh Rusia tersebut, Era tinggal di Odesa. Bahkan beberapa kali mendengar suara ledakan.
Selain itu, isu adanya bom juga kerap didengar saat dia berada d iluar apartemen. Kini alumni SMAN 1 Abiansemal itu pun bersyukur bisa pulang dan bertemu keluarga dengan selamat.
Hanya saja, banyak barangnya yang harus ditinggalkan. Bahkan kurang lebih ada satu koper besar barangnya tidak dibawa pulang, lantaran tidak diizinkan membawa barang banyak.
Ditemui di rumahnya, Selasa (8/3), Era pun menceritakan dirinya berangkat ke Ukraina berawal dari mengajukan lamaran ke agen di Bali. Setelah diterima dirinya langsung berangkat dan bekerja di Ukraina sebagai spa terapis di Bali Spa Ukraina.
Anak pertama pasangan I Wayan Darma Bapak dan Ni Luh Meriani tidak menyangka harus pulang karena perang.
Menurut Era, bekerja di Ukraina telah memperbaiki kondisi perekonomiannya.
"Kalau pendapatan lumayan, ia bisalah pakai membangun seperti balai dangin ini. Ini pun belum selesai," katanya sambil menunjuk bangunan.
Terpisah, Desak Made Yuni, PMI asal Bangli yang bekerja di Kiev mengatakan, pada 24 Februari terjadi ledakan bom dimulainya serangan Rusia ke Ukraina.
Desak Yuni merasa panik dan takut. Ia kemudian mengecek grup KBRI, yang di dalamnya terdapat informasi terbaru untuk bersiap-siap evakuasi ke kantor KBRI di Ukraina.
"Langsunglah saya packing-packing, terutama membawa dokumen penting dan baju seadanya. Pihak KBRI juga tidak memperbolehkan kami menunggu di luar bangunan sampai jemputan datang," ujarnya saat ditemui di kediamannya, Desa Sulahan, Kecamatan Susut, Selasa (8/3).
Desak Yuni mengungsi di kantor KBRI selama lima hari. Selama itu pula, ia tidak diperbolehkan keluar bangunan.
"Pada 25 atau 26 Februari terus terdengar suara ledakan bom. Setiap ada bom bunyi kita turun ke bunker, kita sembuyi disana bersama-sama," ungkapnya.