Cipto Bangkit dari Keterpurukan Pasca Ditinggal Kabur Bosnya, Kini Bisnis Kulinernya Kinclong
Dirinya berawal dari nol, untuk mendirikan usaha warung makan yang sebagian besar melayani pengunjung pariwisata Bali.
Editor: cecep burdansyah
TRIBUNNEWS.COM, JEMBRANA - Kisah pilu berujung bahagia bisa tergambar dari perjalanan seorang pengusaha kuliner asal Jembrana ini.
Hasib Sucipto (49) sudah belasan tahun berkecimpung di dunia kuliner dengan mendirikan usaha warung makan di kilometer 23, Jalan Raya Denpasar-Gilimanuk, Desa Kaliakah Kecamatan Negara, Jembrana.
Cipto, biasa ia disapa, telah menikmati asam garam dalam dunia bisnis kuliner.
Ia menceritakan, awal mula mendirikan warung makan yang diberi nama “Bidadari” itu tidaklah mudah.
Dirinya berawal dari nol, untuk mendirikan usaha warung makan yang sebagian besar melayani pengunjung pariwisata Bali.
Awalnya dirinya bekerja serabutan, apa pun dikerjakan. Hingga akhirnya menjadi pelayan di warung makan “bidadari” milik bosnya yang berada di sekitaran Jalan Sudirman Kecamatan Jembrana. Pada 2003 silam ia bekerja sebagai pelayan.
“Awalnya saya juga pelayan. Terus mengontrol pekerja atau tangan kanan bos. Jadi mulai belanja hingga harus memastikan masakan di dapur,” ucapnya, Senin (14/3).
Cipto melanjutkan, setelah menjadi karyawan, kemudian ada banyak persoalan terjadi. Terutama tanggungjawab dari bosnya. Dimana pada 2005-2006 bosnya tiba-tiba menghilang dan lepas dari apa yang seharusnya menjadi hak para karyawan.
Belum lagi, beberapa waktu setelah kabur, ada pihak yang datang untuk menagih utang di warung yang saat itu harus dikendalikannya.
“Mau tidak mau, saat itu saya harus melanjutkan. Karena karyawan kebingungan. Utang mencapai Rp 300 juta. Dan karyawan belum ada yang dibayar, kalau tidak salah satu atau dua bulan. Semua harus saya atasi waktu itu,” ungkapnya.
Akhirnya, sambungnya, ia dan karyawan sepakat melanjutkan warung makan itu. Kemudian, sembari ke pihak yang diutangi oleh bosnya untuk meminta keringanan.
Akhirnya dari utang Rp 300 juta, ia hanya membayar Rp 150 juta. Dan itu dibayarnya dengan mengangsur.
Perlahan-lahan akhirnya semua utang lunas. Ketika ada pendapatan masuk, dirinya juga harus membayar karyawan terlebih dahulu. Sehingga, untuk mengurus kebutuhan dirinya sampai tidak terpikir lagi.
“Saya waktu itu yang penting adalah anak-anak (pegawai) saya. Istri dan anak di rumah sudah tidak terpikir lagi. Dari situ kami bangkit. Karyawan kembali bersemangat untuk bekerja,” jelasnya.
Cipto mengaku, bisnis kulinernya semakin maju. Dari yang dulu hanya warung kecil saja akhirnya pindah dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit uang dan membeli tanah di Desa Kaliakah, di pinggir jalan raya yang saat ini menjadi tempatnya tinggal pula.