NTB Zona Merah Stunting, Pernikahan Dini Satu di Antara Sekian Penyebabnya
Pernikahan usia anak disebut Fikri sebagai faktor intervensi stunting yang bersifat sensitif dengan daya ungkit yang tinggi hingga mencapai 70 persen.
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM, MATARAM - Berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 menyebutkan, separuh wilayah di NTB berstatus merah alias memiliki prevalensi stunting di atas 30 persen.
Pernikahan usia anak merupakan satu dari sekian penyebab stunting.
“Pernikahan muda juga menjadi faktor stunting yang butuh kolaborasi dari lintas sektor,” kata Kepala Dinas Kesehatan, Lalu Hamzi Fikri dalam Rapat Kerja Kesehatan Daerah, Mataram 19 April 2022 lalu.
Baca juga: Nekat Curi Ponsel untuk Bayar Utang, Seorang Ibu di Mataram Dilaporkan Anak Kandungnya ke Polisi
Baca juga: Viral Pernikahan Dini di Lombok Tengah, Wagub NTB: Oknum yang Memudahkan Bisa Terancam Sanksi
Pernikahan usia anak disebut Fikri sebagai faktor intervensi stunting yang bersifat sensitif dengan daya ungkit yang tinggi hingga mencapai 70 persen.
Sedangkan faktor kesehatan hanya berperan 30 persen.
“Nah yang menjadi atensi juga pernikahan muda, harus berbagi peran kita,” ujarnya.
Kolaborasi antar perangkat daerah terkait seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB).
Serupa dengan pernyataan Kadikes, Sekretaris DP3AP2KB NTB Hamzan Wadi mengatakan pernikahan dini memiliki keterikatan dengan stunting pada anak.
“Perempuan usia anak ini alat reproduksinya belum siap nanti berhubungan lagi dengan keterbutuhan gizi saat dia hamil,” kata Hamzan.
Pernikahan usia anak seperti yang terjadi pada kasus viral di Lombok Tengah yakni pria usia 55 tahun menikahi gadis remaja berusia 16 tahun misalnya.
Jika remaja berusia 16 tahun tersebut hamil, kata Hamzan maka tubuh si ibu akan berebut gizi dengan janin.
Jika nutrisi ibu tidak mencukupi selama masa hamil maka bayi akan lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR).
Kondisi ini sangat rentan berisiko terkena stunting.
Selain itu, perempuan yang masih usia anak secara psikologis belum matang untuk membangun sebuah keluarga.
Bisa jadi belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kehamilan dan pola asuh.
Dikhawatirkan ibu akan kesulitan dalam pengambilan keputusan terkait sang anak.
Bahkan saat dalam kondisi kritis sekalipun.
(Tribunlombok.com, Patayatul Wahidah)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.