Belajar dari Ketegaran Anak-Anak di Otoweri
Kampung Otoweri, berada di Kec. Tomage, Kab. Fak-Fak, Papua Barat memiliki kurang lebih 60 kepala keluarga dan jauh dari akses pendidikan.
Editor: Brand Creative Writer
Tribunnews.com, Papua Barat - Menjajaki Papua Barat memang tiada habisnya, namun cerita paling berkesan saat saya terpilih menjadi salah satu peneliti yang bisa datang ke Bintuni, Otoweri, Onar, Tofoy dan sekitarnya. Tersebutlah Otoweri sebuah pulau kecil di Papua Barat yang untuk sampai ke sana, saya harus menaiki kapal dan menempuh perjalanan hampir 1 hari lamanya karena kapal saya dan tim saat itu sempat tertahan di tengah laut karena badai.
Secara geografis Kampung Otoweri, berada di Kecamatan Tomage, Kabupaten Fak-Fak, Provinsi Papua Barat. Otoweri sebuah pulau kecil yang penuh dengan sapi. Sebagian besar penduduknya memeluk agama Islam. Agak mengagetkan menurut saya, mengingat sebagian penduduk Papua banyak yang menganut agama Kristiani dengan beragam denominasinya.
Otoweri memiliki kurang lebih 60 kepala keluarga saja dan jauh dari akses pendidikan. Tidak ada akses sinyal selular yang masuk ke Otoweri. Hanya 1 pohon kelapa yang anehnya bisa menangkap sinyal selular, jadi kalau mau sms ke kota untuk memesan barang warga Otoweri biasa antri di bawah pohon kelapa itu. Pulau ini dikelilingi hutan bakau, rawa, dan laut lepas.
Karena letak geografisnya penduduk Kampung Otoweri perlu berusaha keras untuk mendapatkan bahan makanan lain selain ikan dan udang. Beras dan bahan pokok lainnya harus diangkut dari kota, sulitnya mendapatkan sayur mayur membuat warga Otoweri berinisiatif untuk menanam bayam dan kangkung.
Hanya ada 1 sekolah dasar di Otoweri yaitu SD Inpres Otoweri, kelas 1 hingga kelas 6 SD hanya diampu oleh 1 guru saja. Tim kami pun berinisiatif untuk turut berpartisipasi mengajar di sekolah dan juga menyanggupi permintaan spontan dari Ibu Ida guru satu-satunya di sekolah itu. Saya dan beberapa kawan di tim mulai membagi-bagi kelas. Saya memilih mengajar Bahasa Inggris kelas 4, 5, dan 6. Sementara kawan saya yang lain mengajar kelas, 1, 2, dan 3.
Singkat cerita, ada sekitar 15 anak terkumpul dari kelas 4, 5, dan 6. Saya mengajar Bahasa Inggris dasar kepada anak-anak yang begitu antusias. Mulai dari menghafalkan huruf A hingga Z, nama-nama hari dalam Bahasa Inggris, dan cara memperkenalkan diri dalam Bahasa Inggris. Mereka nampak bahagia juga ketika diajak bernyanyi bersama lagu Brother John dengan gerakan yang saya ajarkan.
Pengalaman ini begitu membekas di hati saya. Walaupun hanya 5 hari di sana, saya tidak terpikir sama sekali bisa mengajar, apalagi mengajar anak-anak di pedalaman. Sebab saya sadar, saya tidak ada latar belakang dari sekolah keguruan sama sekali.
Hal yang mengharukan dan menyentuh bagi saya adalah ketika mereka mengatakan ingin agar saya tinggal lebih lama di Otoweri. Saya tidak mengatakan bahwa jika penelitian saya dan tim selesai kami akan berpindah ke pulau lain, karena itu artinya saya tidak bisa lagi mengajar mereka. Hati saya terlampau tidak tega mengatakannya. Entah berapa lama lagi mereka menunggu guru yang datang untuk mengajar.
Mereka selalu bersemangat ke sekolah. Tetapi karena terbatasnya guru, tidak jarang mereka pulang kembali ke rumah karena tidak ada mata pelajaran, atau Bu Ida tidak cukup waktu untuk mengajar mereka.
Akhirnya sebagai lokal bercerita bukan mereka yang belajar dari saya, tapi sayalah yang belajar dari ketegaran mereka. Salam cinta untuk Rosita, Zaenab, Ahmad, Fandi, dan murid-murid kecilku yang mungkin kini telah beranjak besar. Sa Papua Sa Bangga.
Simak beragam cerita lokal yang tidak kalah menarik di matalokalmenjangkauindonesia.tribunnews.com. Saatnya torang bercerita!
Penulis: Agata Vera