Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pemerintah Cuma Punya 1 Anti-bisa, Padahal Ada 76 Jenis Ular Berbisa di Indonesia

Indonesia punya beragam jenis ularberacun. Hinggi kini, tercatat 76 ular berbisa yang dapat berakibat fatal bila racunnya masuk ke tubuh manusia.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Pemerintah Cuma Punya 1 Anti-bisa, Padahal Ada 76 Jenis Ular Berbisa di Indonesia
WIKIMEDIA
Ular kobra 

TRIBUNNEWS.COM - Indonesia punya beragam jenis ularberacun. Hinggi kini, tercatat 76 ular berbisa yang dapat berakibat fatal bila racunnya masuk ke tubuh manusia.

Baca: Arwah Terapis yang Meninggal di Luar Negeri ‘Datang’ Minta Ritual ‘Terpana’

Sayangnya, anti-bisa ular yang dimiliki pemerintah belum memadai untuk menangani jumlah yang besar tersebut. Kementerian Kesehatan baru mampu mencakup tiga jenis ular dalam satu anti-bisa ular.

“Kita butuh anti-bisa. Kita hanya punya satu yang meng-cover tiga jenis ular, yakni ular kobra, ular tanah, dan ular weling,” kata pakar gigitan ular dan toksikologi DR. dr. Tri Maharani, M.Si SP.EM., Selasa (12/9/2017).

Tri mengatakan, jumlah anti-bisa ular yang diproduksi oleh Badan Usaha Milik Negara Bio Farma hanya 40.000 setiap tahunnya. Jumlah ini dirasa belum mencukupi bila mengingat bahwa kasus gigitan ular berbisa yang terjadi lebih banyak.

Baca: Luhut Targetkan 2018 Bandara Kertajati Bisa Digunakan untuk Keberangkatan Haji

Meski tak ada angka pasti dari gigitan ular secara nasional, Tri menduga kasusnya tak berbeda jauh dengan kasus pengerita HIV AIDS yang mencapai 191.000 jiwa.

BERITA REKOMENDASI

Dari 34 provinsi di Indonesia, Tri menduga angka gigitan ular bisa mencapai 135.000 kasus.

“LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Bio Farma, serta beberapa universitas tertarik untuk mengembangkan anti-bisa. Jadi, harusnya pemerintah membiayai dan memacunya agar 76 ular berbisa di indonesia ada anti-bisanya,” ucap Tri.

Selain itu, Indonesia baru memiliki satu anti-bisa berjenis polivalen yang dapat digunakan untuk tiga jenis ular. Artinya, 73 anti-bisa ular lainnya harus didatangkan dari luar negeri.

Dari segi efektivitas, kekuatan polivalen hanya sepertiga dibandingkan monovalen. Terhadap bisa ular ekor merah, misalnya, monovalen hanya butuh waktu 6 jam untuk memulihkan korban kembali.

“Semua jenis ular lebih bagus pakai monovalen. Satu peneliti LIPI yang tergigit ular di Simeuleu di bulan Agustus kemarin, 24 jam kemudian sudah bisa pulang,” ucap Tri.


SABU merupakan serum anti-bisa ular yang dibuat dari bisa ular. Prosesnya tidak sederhana karena dibutuhkan alat purifikasi dan teknologi bioinformatika agar susunan protein dan enzim bisa dibuat menjadi anti-bisa ular.

Untuk itu, Tri mengambil inisiatif memberikan SABU gratis kepada masyarakat yang terkena gigitan ular dari gajinya sebagai pegawai negeri sipil, misalnya SABU ular Trimeresurus dari Thailand yang tidak dicakup oleh pemerintah.

Hal itu dilakukannya untuk memberikan contoh kepada dokter dan pemerintah agar serius menghadapi kasus gigitan ular berbisa.

“Saya beli dengan gaji saya sebagai pegawai negeri sipil dan berikan gratis. Saya ke Thailand terus minta izin dengan BPPOM dan Kemenkes supaya anti-bisa itu bisa dibeli dan saya kasih gratis kepada masyarakat,” ujar Tri.

Tri menuturkan, ke depannya, jumlah kasus gigitan ular mungkin bertambah. Ular tanah, misalnya, tengah keluar di kebun kelapa sawit di Ketapang, Kalimantan Barat karena habitatnya terganggu oleh pengubahan hutan hetetrogen menjadi hutan homogen.

“Karena ekosistem yang berubah maka ular banyak yang terganggu dan banyak yang membuat manusia tergigit juga,” ucap Tri.

Berita ini sudah tayang di Kompas.com dengan judul: Ada 76 Ular Berbisa di Indonesia, tetapi Kita Hanya Punya 1 Anti-bisa

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas